Jumat, 10 Mei 2013

Monolog Patah Hati



Monolog Patah Hati
Cerpen: Lia Irma Juita

Melihat pada angin yang berhembus, sangat jelas takkan pernah tergambar wujudnya. Berpegang pada air yang mengalir, yang pasti takkan pernah tergenggam. Sosok yang selalu nampak indah namun tak pernah bisa tersentuh hangatnya. Entahlah siapa dia, makhluk tidak berwujud yang mana hati selalu merana rindu meresapi aromanya. Raga yang selalu hangat tersentuh, tiada bernyawa. Bagai dahaga yang terlepas seteguk demi teguk tanpa rasa. Hambar dalam kecupan ujung lidah. Dalam sentuhan-sentuhan halus gurat-gurat wajah, urat nadi yang menegang dibual buraian mutiara sayang.
Balada tentang laju kehidupan mengalun lamat-lamat jadi soundstrack malam itu. Pada malam-malam dingin, tapi selalu hangat jika kau senandungkan lagu tentang karang yang tegar dihempas gelombang garang, sekeras baja ditempa api membara. Kau tak pernah membisikkan sebait syair pun tentang laramu. Kau selalu bungkam tentang perihmu yang tidak pernah aku tahu, apakah kau hidup sebelumnya. Apakah sejarah itu ada pada jubahmu yang kugantungkan di balik pintu? Entah di balik kantong-kantong dompetmu, adakah kisah yang menarik untuk aku kemas dalam kotak musik usang pemberian nenek tiga abad lalu.
Aku kecup kening mulus, halus, tiada noda jerawat di wajahmu, berusaha merayu, akankah kau luluh di pangkuanku. Ternyata benar. Hanya dalam sorot mata yang sedikit tajam, dalam-dalam aku tarik hatimu meluluh. Satu per satu, kau jatuh, semakin jauh kau burai tabir-tabir kelam tentang masa lalu. Bagai sesosok bisu, terpaku aku merangkulmu. Tertunduk lesu kau singkap tirai jendela itu tanpa rasa malu. Sunggingan kecil di pinggir senyummu, kau tikam jantungku, perlahan-lahan hingga kumeradang kesenangan berulang-ulang. Lama aku terlilit belitan selimut yang kau lingkarkan awalnya berasa hangat.
Angin selalu tak berubah. Tak pernah mau berubah. Bergerak sesuka arah, ia mau ke barat atau ke timur, mengekor pasukan bangau ke selatan atau gagak ke utara. Ia tak pernah putih, selalu tak mau dalam hitam. Ia kelabu? Entahlah, yang aku lihat ia ada dalam setiap warna. Berlalu membelai, keahliannya yang tak pernah hilang. Menusuk tajam pada setiap aroma kembang. Dari dahlia yang lembut hingga raflessia yang menjijikkan. Adakah kau lihat? Ia benar-benar tak berwujud nyata. Ia penipu ulung dalam setiap desas-desus, mendesis di desirannya membuai semilir. Ia memukau dengan sangat memesona. Aku tak pernah sangka, aku sakau bila tak ikut serta dalam setiap ekspedisimu mencari apa yang kau cari, yang kau sendiri tidak mengerti apa itu, untuk apa, kau pun tidak mampu memahami. Hanya mengajarkan aku untuk peduli. Dan itu tidak mudah bagiku berhenti. Kau telah menerbangkanku jauh. Duhai angin, aku mual, lambungku bergejolak hendak memuntahkan muatan partikelmu.
Air tetap saja mengalir. Meski tak banyak dalam anak-anak sungai, kau hebat pikirku. kau pengelana hebat mengarungi batu-batu terjal meraih istana terindahmu. Muak bergelut dengan angin aku ingin larut bersamamu. Dingin, kau lambang kesejukan pada setiap jakun-jakun dahaga. Simbol kesuburan pada ujung-ujung tunas menghijau muda, aku begitu berhasrat merengkuhmu dalam rangkulan hangat. Namun kau tak pernah bisa kugenggam, selalu lebur dalam hangat kepalan tangan.
            O, langit. Aku begitu tenang di bawah payungmu. Dapatkah setiap hari kau bercerita tentang kebahagiaan, di balik awan berkabut tebal, agar ia tak runtuh menangisi kesedihan. Agar burung-burung leluasa terbang. Di hamparan birumu memendar kemala, memukau rona senja, bahkan gelap gulita. Bagai kanvas pelukis, awalnya kosong berisi berbagai rupa warna digoresan kuas-kuasnya. Aku temukan hidup di bawah naunganmu.
            Malam dingin. Rembulan kepala batok menebar senyum. Aku ingin bercerita. Mungkin terdengar sangat melankolis, childish—kekanak-kanakan, atau garing. Kisah tentang perjalanan hatiku yang berakhir tragis. Sangat tidak menginspirasi. Aku juga tidak bermaksud untuk berbagi teori inspirasi. Karena aku bukan guru atau pakar hati ahli romansa. Berhari-hari, berbulan-bulan, hingga lebih dari setahun aku jalani. Aku pendam saja. Malam ini, aku ingin bermeditasi. Melenyapkan kepingan demi kepingan video yang telah memenuhi memori.
            Cinta itu bermula di sini. Benda kecil segenggaman tangan, bertombol abcd, satu dua tiga, berpagar bintang. Perkenalan singkat secepat lintasan signal antar tower BTS. Bersambut kisah di layar monitor menjelajah dunia maya. Kau begitu manis dalam pose sederhana. Cinta itu bernama Semangat. Hati itu telah menawan hati ini dengan cara yang amat sederhana.
            “Mengapa engkau mau bertemankan hati denganku, duhai Semangat?” suatu kali di malam sepi aku bertanya.
            “Hatimu lara butuh aku.” Jawabnya singkat.
            Kuakui pada malam-malam itu aku hampir setengah mati. Kecil terbuang. Pekerjaan hilang, cinta pun terbang tinggalkan diriku dalam ketercengangan. Nasib ataukah takdir yang telah mempertemukan. Semangat menghampiriku. Oh, bukan. Aku yang pertama dan dia membalasnya. Garis tangan kita sama. Tertulislah kisah ini dengan sendirinya.
            “Ingat Asa, mungkin kali ini kita terbuang. Resiko pegawai swasta, berkadaluarsa. Tapi, masih banyak pintu akan terbuka untuk kita. Sabar kita pasti ada harganya. Begitu pula cinta.”
            “Kamu sendiri, bagaimana bisa sabar dengan Cinta?”
            “Maksudmu?”
            “Iya Cinta. Orang yang memberi sayang tapi tidak cinta.”
            “Itulah Asa. Kadangkala menyingkronkan teori dengan aplikasi itu sukar dimengerti.”
            “Bagaimana aku akan bertahan pada semangat. Ia sendiri belum masak akan prinsip itu.”
            “Asa... pernahkah kau dengar pepatah: ilmu padi makin berisi makin merunduk?”
            “Iya. Apa hubungannya?”
            “Pernahkah kau pikirkan. Padi itu tidak akan berisi dan merunduk dengan sendirinya. Ada petani dibantu kerbau atau mesin untuk menggarap tanahnya menjadi sawah. Ditanamkan benih, dialiri air, diberi pupuk, dan disiangi. Tidak cukup sehari, tapi berminggu-minggu, beberapa bulan baru ia bertumbuh. Hijau kecil seperti rumput jarum hingga gemuk menguning di bulir-bulirnya. Kamu tahu Asa, ia bisa mencapai masa-masa itu karena ada petani yang setia merawatnya.”
            “Aku masih belum paham.”
            “Oke, begini. Orang semakin tinggi ilmunya semakin rendah hati ia. Sama halnya dengan padi yang menghadiahkan bulir-bulir berisi bagi petani yang sabar. Ilmu yang diperoleh seseorang tidaklah bertambah dengan sendirinya. Ia butuh sumber, ada guru, dari alam pun ia bisa peroleh. Dari mana saja. Dengan sabar ia gali dengan otaknya yang selalu diasah. Semakin dalam ia semakin sadar, ilmunya tidaklah sempurna jika tidak berbagi. Ia tahu diri, untuk apa berbesar hati jika dulu ada yang dengan sabar mau memberi.”
            “Semakin rumit. Jadi, apa efeknya pada cinta, Semangat?”
            “Cinta juga begitu Asa, ia akan berisi apabila diolah, ditanam, disirami, dan dirawat.”
            “Tapi, kamu. Sudah bertahun-tahun adakah cintamu merunduk berisi.”
            “Sudah. Sudah untuk orang lain...” nada Semangat tak lagi semangat.
            “Semangat. Tahukah kamu, redup bola mataku menyala kembali sejak bertemu denganmu. Berdialog dari malam ke malam, perlahan tegakkan kembali semangat yang mendadak rapuh. Tanpa sadar, kamu telah menjelma menjadi petani di sawah ini.”
            “O, Asa benarkah....”
            “Sangat. Semangat, aku siap untuk menjadi padi yang akan merunduk berisi dengan kesabaranmu. Sirami dan semailah aku. Asa akan dengan patuh menunggu waktu dalam perawatan Tuan Semangat.”
            “Yakinkan aku Asa. Masa tidak akan menggerus Semangat, karena ruang menjarakkan kita jauh,” bola mata Semangat berkilau terang, berkaca-kaca.
            “Asa siap terbakar matahari, ditumpahi hujan, digoyang badai sekali pun asal ada gema Semangat.”
            Berlapis-lapis cinta telah ditumpuk Semangat. Hingga badai dengan angkuhnya robohkan batang yang baru bertumbuh miring jatuh. Sebulan-dua bulan, hampir setahun tiada terawat. Tanah lembek telah berganti lantai semen bertingkat, beratap metal merah. Semangatku menghilang. Segulung pita musik yang tinggal, hanya itu yang tersisa di memoriku tentangnya. Setapak jejak menggambarkan padaku ia telah menemukan hidupnya. Memang garis tangan kita sama. Aku juga telah hidup kembali setelah beberapa lama terlunta. Tapi cinta, adakah ia menemukan cinta? Ingatkah ia, pada Asa yang tertinggal di sini.
            Gerimis jatuh. Bergulir di sehelai daun keladi, jatuh ke bumi. Burung kecil kuning terjatuh, sayapnya basah. Aku kurang tahu termasuk dalam jenis apakah ia. Dia berbisik lirih padaku, Semangat menitipkan salam rindu untuk Asa. Olala, gerimis seketika berhenti. Setelah badai yang telah lama berlalu, aku masih hafal merdu suaranya. Penuh semangat.
            “Asa, inikah kamu sayang?”
            “Tiada yang berubah padaku seujung kuku pun Semangat,”
            “Maafkan aku lama tak mengabari. Badai itu telah memisahkan aku jauh, menerbangkanku hingga ke puncak menara. Tersangkut tiang bendera.”
            “Kamu tidak apa-apa? Tapi, kulihat kau sangat gagah dengan seragammu itu.”
            “Kamu sendiri masih sama seperti pertama kali jumpa. Tapi, ada sedikit yang berbeda kulihat. Wajah tirusmu kemana, Asa?”
            “Uhm?”
            “Aku suka melihatmu gemuk berisi seperti sekarang ini. Sungguh Asa, kamu kelihatan seksi.”
            “Ah, Semangat. Tahukah kau, semua ini berkat kamu. Setiap detik, tiap menit, setiap hari aku menyalakan rekaman suara Semangat di hatiku. Makanku selalu lahap kala mendengarnya.”
            Alunan dangdut melayu tiba-tiba menjadi soundtrack dadakan. O, teknologi mengaturnya sebagai nada dering sebuah telepon genggam di kantong celana Semangat. Ada suara di dalam sana mengajaknya bercengkrama. Sekejap, ia melupakanku. Semilir nakal berbisik, ia punya banyak wanita. Dikoleksi rapi di kamarnya. Apalagi, lebih dari separoh dunia telah ia miliki, harta dan tahta.
            “Tanganmu tak sehangat pertama kali bertemu Semangat,” suatu malam dingin aku bertanya.
            “Mungkin pengaruh cuaca dari lembah Singgalang. Telapak mulusmu telah meredamnya menjadi hangat, sayang.”
            “Tidak. Semangatku tak lagi sama, hangatnya telah hilang.”
            “Apa maksudmu?” kening Semangat berkerut, kedua pangkal alisnya hampir bertemu.
            “Ia telah berubah. Bukan lagi Tuan Semangat, si petani tabah menghalau burung parasit sawah. Badai telah merebutnya. Meninggalkan asa padi-padi, berharap berisi hingga musim panen tiba. Ia telah menjelma menjadi penggerak roda knalpot beracun, dan gemerlap lampu-lampu diskotek dengan aroma anggur yang memabukkan.”
            “Dunia telah berubah Asa. Jaman memaksaku untuk ikuti laju mereka.”
            “Jaman tidak pernah memaksa. Manusia yang tidak kokoh membangun pondasi mereka. Semangatku payah.”
            “Kamu tidak terima emas yang kutambang bercucuran keringat ini Asa? Tidakkah dirimu bangga dengan seragamku yang seindah sutera ini?”
            “Tidak dengan wanita-wanitamu itu. Senyum-senyum palsu itu telah melumat manis Semangatku hingga sepahit empedu.”
            “Asa. Aku tidak berubah, aku kembali mencarimu....”
            “Tidak. Kau tidak mencariku, tapi aku yang tidak sengaja menemukanmu.”
            “Asa....” Semangat meraih pergelanganku.
            “Lepaskan!”
            Semangat betul-betul hilang. Dunia telah menenggelamkannya, terseret gelombang hingga ke palung laut. Asa telah putus.
***
  Malam dingin. Menjadi semakin dingin. Menusuk, menelusup hingga ke sumsum. Aku belum makan seharian. Setelah setahun Semangat hilang, aku tak pernah bertemu nasi. Hanya air dari langit yang menemaniku agar tetap kuat. Aku tak lagi melihat sawah. Petaniku telah mati, badai telah menggulungnya.*** Dharmasraya Februari 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar