Cerpen:
Lia Irma Juita
Melihat
pada angin yang berhembus, sangat jelas takkan pernah tergambar wujudnya.
Berpegang pada air yang mengalir, yang pasti takkan pernah tergenggam. Sosok
yang selalu nampak indah namun tak pernah bisa tersentuh hangatnya. Entahlah
siapa dia, makhluk tidak berwujud yang mana hati selalu merana rindu meresapi
aromanya. Raga yang selalu hangat tersentuh, tiada bernyawa. Bagai dahaga yang
terlepas seteguk demi teguk tanpa rasa. Hambar dalam kecupan ujung lidah. Dalam
sentuhan-sentuhan halus gurat-gurat wajah, urat nadi yang menegang dibual
buraian mutiara sayang.
Balada
tentang laju kehidupan mengalun lamat-lamat jadi soundstrack malam itu. Pada malam-malam dingin, tapi selalu hangat
jika kau senandungkan lagu tentang karang yang tegar dihempas gelombang garang,
sekeras baja ditempa api membara. Kau tak pernah membisikkan sebait syair pun
tentang laramu. Kau selalu bungkam tentang perihmu yang tidak pernah aku tahu,
apakah kau hidup sebelumnya. Apakah sejarah itu ada pada jubahmu yang kugantungkan
di balik pintu? Entah di balik kantong-kantong dompetmu, adakah kisah yang
menarik untuk aku kemas dalam kotak musik usang pemberian nenek tiga abad lalu.
Aku
kecup kening mulus, halus, tiada noda jerawat di wajahmu, berusaha merayu,
akankah kau luluh di pangkuanku. Ternyata benar. Hanya dalam sorot mata yang
sedikit tajam, dalam-dalam aku tarik hatimu meluluh. Satu per satu, kau jatuh, semakin
jauh kau burai tabir-tabir kelam tentang masa lalu. Bagai sesosok bisu, terpaku
aku merangkulmu. Tertunduk lesu kau singkap tirai jendela itu tanpa rasa malu.
Sunggingan kecil di pinggir senyummu, kau tikam jantungku, perlahan-lahan
hingga kumeradang kesenangan berulang-ulang. Lama aku terlilit
belitan selimut yang kau lingkarkan awalnya berasa hangat.
Angin
selalu tak berubah. Tak pernah mau berubah. Bergerak sesuka arah, ia mau ke
barat atau ke timur, mengekor pasukan bangau ke selatan atau gagak ke utara. Ia
tak pernah putih, selalu tak mau dalam hitam. Ia kelabu? Entahlah, yang aku
lihat ia ada dalam setiap warna. Berlalu membelai, keahliannya yang tak pernah
hilang. Menusuk tajam pada setiap aroma kembang. Dari dahlia yang lembut hingga
raflessia yang menjijikkan. Adakah kau lihat? Ia benar-benar tak berwujud
nyata. Ia penipu ulung dalam setiap desas-desus, mendesis di desirannya membuai
semilir. Ia memukau dengan sangat memesona. Aku tak pernah sangka, aku sakau
bila tak ikut serta dalam setiap ekspedisimu mencari apa yang kau cari, yang
kau sendiri tidak mengerti apa itu, untuk apa, kau pun tidak mampu memahami. Hanya
mengajarkan aku untuk peduli. Dan itu tidak mudah bagiku berhenti. Kau telah
menerbangkanku jauh. Duhai angin, aku mual, lambungku bergejolak hendak
memuntahkan muatan partikelmu.
Air
tetap saja mengalir. Meski tak banyak dalam anak-anak sungai, kau hebat
pikirku. kau pengelana hebat mengarungi batu-batu terjal meraih istana
terindahmu. Muak bergelut dengan angin aku ingin larut bersamamu. Dingin, kau
lambang kesejukan pada setiap jakun-jakun dahaga. Simbol kesuburan pada
ujung-ujung tunas menghijau muda, aku begitu berhasrat merengkuhmu dalam
rangkulan hangat. Namun kau tak pernah bisa kugenggam, selalu lebur dalam
hangat kepalan tangan.
O, langit. Aku begitu tenang di bawah payungmu. Dapatkah
setiap hari kau bercerita tentang kebahagiaan, di balik awan berkabut tebal,
agar ia tak runtuh menangisi kesedihan. Agar burung-burung leluasa terbang. Di
hamparan birumu memendar kemala, memukau rona senja, bahkan gelap gulita. Bagai
kanvas pelukis, awalnya kosong berisi berbagai rupa warna digoresan
kuas-kuasnya. Aku temukan hidup di bawah naunganmu.
Malam dingin. Rembulan kepala batok menebar senyum. Aku
ingin bercerita. Mungkin terdengar sangat melankolis, childish—kekanak-kanakan, atau garing. Kisah tentang perjalanan
hatiku yang berakhir tragis. Sangat tidak menginspirasi. Aku juga tidak
bermaksud untuk berbagi teori inspirasi. Karena aku bukan guru atau pakar hati ahli
romansa. Berhari-hari, berbulan-bulan, hingga lebih dari setahun aku jalani.
Aku pendam saja. Malam ini, aku ingin bermeditasi. Melenyapkan kepingan demi
kepingan video yang telah memenuhi memori.
Cinta itu bermula di sini. Benda kecil segenggaman tangan,
bertombol abcd, satu dua tiga, berpagar bintang. Perkenalan singkat secepat
lintasan signal antar tower BTS. Bersambut kisah di layar monitor menjelajah
dunia maya. Kau begitu manis dalam pose sederhana. Cinta itu bernama Semangat.
Hati itu telah menawan hati ini dengan cara yang amat sederhana.
“Mengapa engkau mau bertemankan hati denganku, duhai
Semangat?” suatu kali di malam sepi aku bertanya.
“Hatimu lara butuh aku.” Jawabnya singkat.
Kuakui pada malam-malam itu aku hampir setengah mati.
Kecil terbuang. Pekerjaan hilang, cinta pun terbang tinggalkan diriku dalam
ketercengangan. Nasib ataukah takdir yang telah mempertemukan. Semangat
menghampiriku. Oh, bukan. Aku yang pertama dan dia membalasnya. Garis tangan
kita sama. Tertulislah kisah ini dengan sendirinya.
“Ingat Asa, mungkin kali ini kita terbuang. Resiko
pegawai swasta, berkadaluarsa. Tapi, masih banyak pintu akan terbuka untuk
kita. Sabar kita pasti ada harganya. Begitu pula cinta.”
“Kamu sendiri, bagaimana bisa sabar dengan Cinta?”
“Maksudmu?”
“Iya Cinta. Orang yang memberi sayang tapi tidak cinta.”
“Itulah Asa. Kadangkala menyingkronkan teori dengan aplikasi
itu sukar dimengerti.”
“Bagaimana aku akan bertahan pada semangat. Ia sendiri
belum masak akan prinsip itu.”
“Asa... pernahkah kau dengar pepatah: ilmu padi makin
berisi makin merunduk?”
“Iya. Apa hubungannya?”
“Pernahkah kau pikirkan. Padi itu tidak akan berisi dan
merunduk dengan sendirinya. Ada petani dibantu kerbau atau mesin untuk
menggarap tanahnya menjadi sawah. Ditanamkan benih, dialiri air, diberi pupuk,
dan disiangi. Tidak cukup sehari, tapi berminggu-minggu, beberapa bulan baru ia
bertumbuh. Hijau kecil seperti rumput jarum hingga gemuk menguning di
bulir-bulirnya. Kamu tahu Asa, ia bisa mencapai masa-masa itu karena ada petani
yang setia merawatnya.”
“Aku masih belum paham.”
“Oke, begini. Orang semakin tinggi ilmunya semakin rendah
hati ia. Sama halnya dengan padi yang menghadiahkan bulir-bulir berisi bagi
petani yang sabar. Ilmu yang diperoleh seseorang tidaklah bertambah dengan
sendirinya. Ia butuh sumber, ada guru, dari alam pun ia bisa peroleh. Dari mana
saja. Dengan sabar ia gali dengan otaknya yang selalu diasah. Semakin dalam ia
semakin sadar, ilmunya tidaklah sempurna jika tidak berbagi. Ia tahu diri,
untuk apa berbesar hati jika dulu ada yang dengan sabar mau memberi.”
“Semakin rumit. Jadi, apa efeknya pada cinta, Semangat?”
“Cinta juga begitu Asa, ia akan berisi apabila diolah,
ditanam, disirami, dan dirawat.”
“Tapi, kamu. Sudah bertahun-tahun adakah cintamu merunduk
berisi.”
“Sudah. Sudah untuk orang lain...” nada Semangat tak lagi
semangat.
“Semangat. Tahukah kamu, redup bola mataku menyala
kembali sejak bertemu denganmu. Berdialog dari malam ke malam, perlahan
tegakkan kembali semangat yang mendadak rapuh. Tanpa sadar, kamu telah menjelma
menjadi petani di sawah ini.”
“O, Asa benarkah....”
“Sangat. Semangat, aku siap untuk menjadi padi yang akan
merunduk berisi dengan kesabaranmu. Sirami dan semailah aku. Asa akan dengan
patuh menunggu waktu dalam perawatan Tuan Semangat.”
“Yakinkan aku Asa. Masa tidak akan menggerus Semangat, karena
ruang menjarakkan kita jauh,” bola mata Semangat berkilau terang, berkaca-kaca.
“Asa siap terbakar matahari, ditumpahi hujan, digoyang
badai sekali pun asal ada gema Semangat.”
Berlapis-lapis cinta telah ditumpuk Semangat. Hingga
badai dengan angkuhnya robohkan batang yang baru bertumbuh miring jatuh.
Sebulan-dua bulan, hampir setahun tiada terawat. Tanah lembek telah berganti
lantai semen bertingkat, beratap metal merah. Semangatku menghilang. Segulung
pita musik yang tinggal, hanya itu yang tersisa di memoriku tentangnya. Setapak
jejak menggambarkan padaku ia telah menemukan hidupnya. Memang garis tangan
kita sama. Aku juga telah hidup kembali setelah beberapa lama terlunta. Tapi
cinta, adakah ia menemukan cinta? Ingatkah ia, pada Asa yang tertinggal di
sini.
Gerimis jatuh. Bergulir di sehelai daun keladi, jatuh ke
bumi. Burung kecil kuning terjatuh, sayapnya basah. Aku kurang tahu termasuk
dalam jenis apakah ia. Dia berbisik lirih padaku, Semangat menitipkan salam
rindu untuk Asa. Olala, gerimis seketika berhenti. Setelah badai yang telah
lama berlalu, aku masih hafal merdu suaranya. Penuh semangat.
“Asa, inikah kamu sayang?”
“Tiada yang berubah padaku seujung kuku pun Semangat,”
“Maafkan aku lama tak mengabari. Badai itu telah
memisahkan aku jauh, menerbangkanku hingga ke puncak menara. Tersangkut tiang
bendera.”
“Kamu tidak apa-apa? Tapi, kulihat kau sangat gagah
dengan seragammu itu.”
“Kamu sendiri masih sama seperti pertama kali jumpa.
Tapi, ada sedikit yang berbeda kulihat. Wajah tirusmu kemana, Asa?”
“Uhm?”
“Aku suka melihatmu gemuk berisi seperti sekarang ini.
Sungguh Asa, kamu kelihatan seksi.”
“Ah, Semangat. Tahukah kau, semua ini berkat kamu. Setiap
detik, tiap menit, setiap hari aku menyalakan rekaman suara Semangat di hatiku.
Makanku selalu lahap kala mendengarnya.”
Alunan dangdut melayu tiba-tiba menjadi soundtrack dadakan. O, teknologi
mengaturnya sebagai nada dering sebuah telepon genggam di kantong celana
Semangat. Ada suara di dalam sana mengajaknya bercengkrama. Sekejap, ia
melupakanku. Semilir nakal berbisik, ia punya banyak wanita. Dikoleksi rapi di
kamarnya. Apalagi, lebih dari separoh dunia telah ia miliki, harta dan tahta.
“Tanganmu tak sehangat pertama kali bertemu Semangat,”
suatu malam dingin aku bertanya.
“Mungkin pengaruh cuaca dari lembah Singgalang. Telapak
mulusmu telah meredamnya menjadi hangat, sayang.”
“Tidak. Semangatku tak lagi sama, hangatnya telah
hilang.”
“Apa maksudmu?” kening Semangat berkerut, kedua pangkal
alisnya hampir bertemu.
“Ia telah berubah. Bukan lagi Tuan Semangat, si petani
tabah menghalau burung parasit sawah. Badai telah merebutnya. Meninggalkan asa
padi-padi, berharap berisi hingga musim panen tiba. Ia telah menjelma menjadi
penggerak roda knalpot beracun, dan gemerlap lampu-lampu diskotek dengan aroma
anggur yang memabukkan.”
“Dunia telah berubah Asa. Jaman memaksaku untuk ikuti
laju mereka.”
“Jaman tidak pernah memaksa. Manusia yang tidak kokoh
membangun pondasi mereka. Semangatku payah.”
“Kamu tidak terima emas yang kutambang bercucuran
keringat ini Asa? Tidakkah dirimu bangga dengan seragamku yang seindah sutera
ini?”
“Tidak dengan wanita-wanitamu itu. Senyum-senyum palsu
itu telah melumat manis Semangatku hingga sepahit empedu.”
“Asa. Aku tidak berubah, aku kembali mencarimu....”
“Tidak. Kau tidak mencariku, tapi aku yang tidak sengaja
menemukanmu.”
“Asa....” Semangat meraih pergelanganku.
“Lepaskan!”
Semangat betul-betul hilang. Dunia telah
menenggelamkannya, terseret gelombang hingga ke palung laut. Asa telah putus.
Malam dingin. Menjadi semakin dingin. Menusuk, menelusup
hingga ke sumsum. Aku belum makan seharian. Setelah setahun Semangat hilang,
aku tak pernah bertemu nasi. Hanya air dari langit yang menemaniku agar tetap
kuat. Aku tak lagi melihat sawah. Petaniku telah mati, badai telah
menggulungnya.*** Dharmasraya Februari 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar