Selasa, 16 Juli 2013

Ijai dan Ijuih

Ijai dan Ijuih
Cerpen: Lia Irma Juita

Namanya Jayardi, biasa dipanggil Ijai. Laki-laki berbadan tambun, bermata sipit, hidung mancung, berkulit putih, digilai banyak gadis karena mirip idola mereka, bintang Korea. Ijuih, begitu belia sembilan belas tahun bernama Juwita itu disapa. Gadis manis berperawakan kecil, memiliki sorot mata tajam laksana elang, berkulit sawo matang, asli Indonesia. Ijai blasteran Jawa-Minang, tapi sembilan puluh sembilan persen mewarisi darah Minang mandenya. Sementara Ijuih sangat kental dengan darah Minang warisan ayah-ibunya. Mereka berteman begitu erat. Ijai dan Ijuih sudah lama menjalin hubungan. Hari-hari mereka lalui dengan suka cita bersama. Ijai sedih, Ijuih pun tak bisa melepas tawa. Ijuih bahagia tentu saja Ijai lebih bahagia. Keduanya tampak begitu serasi, ibarat setangkai mawar di dalam vas kaca di atas meja, tiada cacat sama sekali. Orang akan bisa melihat dari balik kaca, tangkai mawar yang menopang kelopaknya menawan indah.
Tak banyak orang yang mengetahui, bagaimana awalnya mereka bertemu. Mereka bukan selebriti papan atas yang saling lomba mengumbar sensasi atau petinggi-petinggi negara yang heboh dengan korupsi. Mereka hanya dua sejoli yang tak ingin dilupakan, tapi berharap mendapat pengakuan. Ijai dan Ijuih bukan pasangan ideal, tapi sangat konsisten dengan komitmen hubungan mereka. Tak peduli siapa kamu di masa lalu, atau bagaimana kamu di lima atau sepuluh tahun akan datang, hidupmu hari ini adalah mimpimu saat ini. Kata-kata yang menurut mereka sangat sakti menyatukan jiwa mereka, hingga akhir waktu yang tak terdefinisi timer hentinya.
***
Malam Minggu di taman Cinta. Langit begitu indah untuk terus dipandangi. Kerlap-kerlip bintang seolah tak mau kalah dengan cahaya warna-warni lampu-lampu taman. Di mana-mana, dijumpai banyak wanita dan pria berpasangan, tak peduli usia, tua-muda siapa pun boleh melepas rindu saling sua di sini. Tempat ini banyak menyimpan sejarah dan cerita romantis para pengunjungnya. Siapa pun boleh merequest, tinggal pilih yang mana: cerita romantis bahagia atau cerita tragis ending tak bahagia, bahkan tanpa bumbu cinta, hanya rempah-rempah kehidupan yang tak dimakan setelah menyatukan aroma dan rasa sedap di dasar panci kuah sup.
Ijai berjalan lesu menepi ke sudut taman. Dipilihnya salah satu bangku, tak ada siapa-siapa di sana. Ia duduk terkulai, tampaknya ia begitu kelelahan. Tak seorang pun akan mengira, wig hitam sebahu di kepalanya itu sebenarnya laki-laki gagah. Rok merah lima belas sentimeter di atas lutut itu, begitu seksi berkolaborasi dengan legging hitam, menutupi rambut-rambut kaki jenjangnya. Ia begitu menggoda di antara makhluk-makhluk cantik di taman itu. Ia sedang menunggu seseorang. Berkali-kali diceknya layar BlackBerry berbalut plastik pink di genggamannya. Tak ada panggilan atau pesan dan semacamnya di situ. Ia menengok ke kiri dan ke kanan sembari mengomel-ngomel.
“Aduh, kok si oom lama banget siy,” dilihatnya handphone itu sekali lagi. Menekan tombol paling kiri berwarna hijau. Menelepon salah satu daftar panggilan keluar yang ada di sana. Sekali, dua kali, tiga kali tak ada jawaban. “Kalau tahu akan begini, mending aku jalan sama bapak pejabat yang tadi aja. Lebih berkelas, ke hotel. Kalau bukan angka tiga juta itu, akh....” ia kesal dan melempar benda kecil itu ke depan.
“Woy!” Lemparan Ijai tepat mengenai pelipis kanan Ijuih yang kebetulan lewat di depan Ijai duduk. Ijai tak berani menatap, Ijuih memelototkan mata dan mendengus kesal.
“Maaf Uni, tidak sengaja,”
“Kalau marah kira-kira donk!” Ijuih berjongkok memunguti BlackBerry milik Ijai. “Dasar orang kaya, bebe saja sama harganya dengan sekaleng Coca-cola.”
Ondeh Uni, saya lagi be-te nih Uni.”
“Trus? Masalah buat gue!”
“Tidakkah Uni bersedia menemani saya duduk di sini. Mendendangkan kegalauan saya malam ini,” Ijuih mengernyitkan dahinya, menempelkan tanda silang di sana.
Sorry-sorry seh lah luh! Gak ada waktu, saya sibuk!”
“Tegakah Uni, membiarkan saya dibunuh sepi menunggu di sini?” Ijai kembali berlagu. Ijuih melirik sekilas, berpikir sejenak. Melanjutkan langkah kakinya, sejurus berbalik arah menghenyak duduk di samping Ijai.
“Apa untungnya saya menemani kamu?”
“Banyak. Tergantung mau apa?”
“Berkencan semalam dengan saya bagaimana?” Ijuih merapatkan duduknya.
“Benarkah?”
“Ya, untuk wanita secantik kamu siapa yang akan menolak,” Ijai keheranan, dengan agresif Ijuih merangkul pundaknya. Membelai-belai rambutnya, dan opst... wig Ijai lepas. Ijuih melongo tak berkedip.
“Aduh... helm sayah...”
“Akh, bencong laknat!” Ijuih melempar wig ke wajah Ijai.
“Aduh! Lesbiola ya nek?” Ijai merapikan rambut palsu indahnya.
“Keparat lo!”
“Lo keparat! Mang enak kena tipu. Hahaha!”
Ijai dan Ijuih saling melempar ejekan. Tak ada yang ditutupi, sama-sama ketahuan belangnya. Ijai gagah ternyata bencong komersil penuh pesona. Tanpa bercerita, Ijuih cantik rupanya tak pernah suka dengan pria. Taman Cinta menjadi saksi, Ijai dan Ijuih punya kisah sendiri-sendiri. Pohon-pohon di taman saling berbisik, ada nggak ya cerita yang lebih wow dari ini? Setiap malam yang ada, wanita-wanita wangi penuh gaya menjajakan cinta kilat pada pria hidung belang dengan berbagai level harga. Atau wajah-wajah ingusan yang baru kenal manisnya cinta, menguji-uji nyali ekstrem mereka di sini. Temaram lampu-lampu taman menyorot pose-pose mereka dalam gulungan pita negatif. Terangkum rapi dalam album gemerlap duniawi.
Ijai memang tengah dilanda galau tahap akut. Ia bingung mencari tambahan uang praktikum kuliahnya. Sisa tiga juta lagi yang musti dicukupi dari lima juta yang harus ada hingga pertengahan semester. Ia kehabisan nyali untuk merengek pada ayah-mandenya di kampung. Lagipula, percuma mengadu pada mereka. Ayah yang mengandalkan panen musiman mana punya lembaran uang sebanyak itu. Mande, akh mande ia tidak tega menganggu wanita paruh baya itu setelah satu petak sawah tergadaikan untuk biaya kuliahnya di kedokteran. Cukup tahu diri, berkelilinglah ia memasukkan ijazah SMA dan curriculum vitae ke mana-mana. Bermodal wajah manis bak artis Korea, ia kerja paruh waktu di salah satu pusat hiburan ternama di Padang. Hidupnya tak lagi sehijau hamparan sawah di kampung. Hening aroma padi berganti pikuk aroma alkohol dan dentuman musik disk jockey. Arus urbaninasi begitu deras, kakinya tak kuasa bertahan.
“Sudah berapa lama manggaleh? Jadi santapan om-om gendut?” Ijuih menyikut lengan Ijai.
“Satu tahun terakhir. Lihat nih, patraku!” Ijai memamerkan bokongnya.
“Promosi di sini? Gak berkelas banget.”
“Biasanya booking via online, kita check in di hotel. Malam ini aja apes, ditipu pelanggan baru yang janjiin bayaran gede, ketemuan di taman.” Ijai menatap Ijuih, “Kamu. Biasa main di sini?”
“Eh, nyari suasana baru aja. Biasanya di depan Taman budaya,” Ijuih merunduk sendu.
“Ketahuan! Lagi galau ya?”
“Hahaha. Nggak bisa disembunyiin ya?”
“Anak kedokteran juga mempelajari ilmu kejiwaan,”
“Ya, cewek saya berkencan dengan brondong kenalannya di BBM. Korban BlackBerry.”
Ijuih berbagi kisah pada Ijai. Gadis manis itu jarang di rumah. Ibunya yang istri pengusaha ternama di Padang selalu sibuk dengan teman-temannya sesama istri pengusaha. Ayahnya jangan ditanya, giat melebarkan sayap-sayap emasnya hingga ke luar kota. Semua fasilitas apa yang ia tidak punya. Bagai sulap, apa saja bisa didapatnya dengan satu pinta. Bathinnya selalu meronta, bukan itu yang didamba-dambakannya. Saudara ia tak punya, nenek-kakek sudah lama tiada, orang tua yang terbang entah ke mana, membuatnya liar mencari kasih sayang di luar rumah. Tak sekali, dua kali, ia harus menutup mata dari para pria. Sepuluh dari sembilan pria yang mendekatinya semuanya buaya. Tak satu pun yang benar-benar tulus, hanya mengharapkan harta bahkan tega menyakitinya. Bosan dengan itu, ia mencari kelembutan sosok wanita yang telah lama hilang dari ibunya, bercumbu dengan gadis-gadis seumurnya.
Obrolan panjang terus bergulir. Terkadang diselingi cekikikan menertawakan ulah masing-masing. Saling menumpahkan kegalauan satu sama lain. Tak terasa jarum jam berdentang tepat di angka dua belas. Makhluk-makhluk bernama manusia yang sedang asyik bergentayangan, berhamburan. Saling memacu langkah, mendahului. Bahkan, ada yang masih telanjang dada terbirit-birit menyelamatkan diri. Priitt...! Priiitt...! Peluit panjang berkali-kali.
            “Banci keparat! Kena kau ya!” Seorang petugas berseragam hijau tua, berbadan kekar, dan berkumis tebal mencekal lengan Ijai. Ijuih pun tak luput dicengkram lelaki sangar, berotot besar lainnya.
            “Apa salah saya, Pak! Lepaskan. Lepaskan!” Ijuih meronta. Dua lelaki bertampang sadis terus menyeret Ijai dan Ijuih, menaikkan mereka ke atas truk bertuliskan satuan pamong praja. Di sana, muda-mudi telah berjejer rapi dengan berbagai gaya dan ekspresi.
***
            “Tolong lepaskan saya Pak....” Ijai memohon pada salah seorang petugas yang tengah mengetik. “Besok saya kuliah jam delapan, Pak. Tolonglah Pak, saya mohon....”
            “KTP kamu mana. Banci kaleng, cengeng!” pinta petugas itu lantang.
            “Ini Pak. Tolong, jangan kasih tau orang tua saya di kampung Pak.” Ijai kembali mengiba. “Mereka sudah tua. Saya tidak mau mereka bertambah susah dengar berita saya.”
            “Diam atau saya borgol tu mulut! Dasar banci!”
            “Saya memang banci Pak! Tapi, saya bukan binatang yang Bapak seret dan bentak-bentak!” Ijai terpancing emosi. Aura lelakinya berpendar memancar.
            “Banci laknat!” Kepala Ijai ditekuk ke meja. Sebuah cengkraman besar melingkar di tengkuknya. “Mau coba-coba dengan saya ya. Sini kamu!”
            Ijai digiring ke luar, ke halaman yang tidak terlalu luas. Ia ditelanjangi, hanya berbalut rok mini dan legging hitam. Petugas menyuruhnya berjongkok dengan kedua tangan dilipat ke belakang, digantung ke tengkuk. Hawa dingin menusuk tubuhnya. Ia menggigil menahan perih di ujung bibir. Petugas itu tak main-main. Ijai pasrah, nyalinya menciut. Wajah mande yang lelah membayang di pelupuk mata. Tak tega ia mengingat gurat letih ayah dengan kondisinya. Dosen kesayangan yang mengajar di kelasnya, seolah menuding ke dada ratanya.
            “Pak, tolong lepaskan teman saya Pak.” Giliran Ijuih.
            “Uhm, KTP!” Petugas itu membelalakkan matanya yang tidak besar.
            “Bapak tahu Pak Haji Malin?” Ijuih meyakinkan. “Saya putri tunggalnya.”
            Petugas itu menyipitkan matanya, memandang Ijuih menyelidik. Tawar-menawar yang lumayan panjang terjadi. Ijuih diizinkan menelepon orang tuanya. Pembicaraan pun disambung tiga arah. Petugas terlibat negosiasi serius di gagang telepon. Ia memandang Ijuih dan mengangguk mantap. Tiga puluh menit kemudian seseorang datang melayangkan selembar cek bertuliskan nominal yang sangat lumayan ke meja petugas berwajah sangar. Kumisnya yang tebal menyungging lebar penuh kepuasan. Ijai dibebaskan, diantar pulang bersama Ijuih oleh suruhan pribadi yang diutus ayah Ijuih menebus anaknya. Sepanjang jalan Ijuih terus mengutuk.
            “Dasar keparat! Pake cek aja lewat!”
***
            Ijai dan Ijuih melenggang santai di taman. Mereka saling berpandangan, kemudian tertawa cekikikan mengenang kisah pertemuan pertama mereka tiga tahun silam.
            “Seandainya ada patroli, siap gak buat lari?” Ijai menyikut lengan Ijuih.
            “Tenang. Telepon aja ke rumah. Minta diantarin cek bank. Beres!”
            “Hahaha...” Tawa Ijai lepas. “Jadi kita ke sini hanya buat napak tilas pertemuan kita?”
            “Ya, bisa jadi.”
            “Tidak adakah kencan romantis?”
            “Kencan romantis?” alis Ijuih mengerucut. “Wah cewek itu manis banget...” Ijuih menunjuk salah seorang gadis kece yang sedang duduk di salah satu bangku taman.
            “Tidakkah waktu tiga tahun itu cukup lama bagi kita. Untuk menjalani hubungan ini secara layak?” Ijai menatap Ijuih penuh. Ia berdiri gagah di depan Ijuih, tanpa wig dan rok mini berlegging hitam. Ia telah lama berubah. Ia tak lagi  berdandan menor menjaja cinta. Ijuih tak bergeming. Ia biarkan angin taman berlalu meniupkan aroma senja.*** Padang, Desember 2012









Bee Joeytha, nama pena dari Lia Irma Juita, lahir 30 Juli 1988 di Sikabau, lurah kecil di kabupaten pamekaran Dharmasraya, Sumatera Barat. Menyelesaikan bangku pendidikan dari TK hingga SMA di tanah kelahiran dengan lancar dan nilai yang memuaskan. Berperawakan kecil, sedikit narsis dan suka jalan-jalan—bisa dibuktikan dengan mengunjungi timelinenya di Bee Joeytha on Facebook atau twitt @BaBy_j0eYth4 on Twitter. Saat ini, tercatat sebagai mahasiswi pada salah satu perguruan tinggi swasta di Padang, tepatnya di STKIP PGRI Sumbar, Prodi Pendidikan Bahasa Inggris. Dari jaman ingusan sudah jatuh hati dengan dunia kepenulisan, hobi menggambar dan bercerita—makanya hampir tiap hari ditegur guru, gara-gara gangguin teman sebangku karena ada-ada saja cerita baru berlompatan keluar saat jam pelajaran— makin cinta di dunia kepenulisan sejak cerpen perdana Bu Fatimah, dipajang di mading sekolah dan  mendapat respon dukungan dari para guru terutama guru bahasa Indonesia SMP—dulu SLTP N 2 Pulau Punjung sekarang berganti nama SMP N 8 Dharmasraya— dan masih dalam suasana putih biru, untuk pertama kalinya puisi Sang Surya Hadirlah! dimuat di salah satu majalah anak nasional, Ino 2003. Nama pena Bee Joeytha, diadopsi dari nama Baby—panggilan kesayangan dari teman-teman terdekat, hingga meluas ke seantero sekolahan SMA N 1 Sitiung, bahkan sampai sekarang— jaman SMA aktif menulis cerpen, puisi, dan artikel di mading kelas, buletin sekolah, dan blog almamater serta buletin kampus atas nama almamater dengan nama pena Baby Cute. Sekarang, amat sangat bersyukur telah dipertemukan dengan rekan-rekan penulis dalam wadah FLP—Sekmen FLP ranting STKIP PGRI Sumbar— yang mengantarkan angan selangkah demi langkah menggapai impian, dengan karya perdananya tercover dalam buku antologi dan puisi “Tulisan”—hasil gotong-royong 13 anggota FLP Sumbar, terbit Mei 2013—. Punya motto andalan, hasil kutipan dari halaman blog orang lain: tulislah namamu sebelum nisan menuliskan namamu. Tulisan-tulisannya yang lain silakan kunjungi Poerie Imajinasi di laman beejoeytha.blogspot.com.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar