Ijai dan Ijuih
Cerpen: Lia Irma
Juita
Namanya Jayardi, biasa dipanggil Ijai.
Laki-laki berbadan tambun, bermata sipit, hidung mancung, berkulit putih,
digilai banyak gadis karena mirip idola mereka, bintang Korea. Ijuih, begitu
belia sembilan belas tahun bernama Juwita itu disapa. Gadis manis berperawakan
kecil, memiliki sorot mata tajam laksana elang, berkulit sawo matang, asli
Indonesia. Ijai blasteran Jawa-Minang, tapi sembilan puluh sembilan persen
mewarisi darah Minang mandenya. Sementara Ijuih sangat kental dengan darah
Minang warisan ayah-ibunya. Mereka berteman begitu erat. Ijai dan Ijuih sudah
lama menjalin hubungan. Hari-hari mereka lalui dengan suka cita bersama. Ijai
sedih, Ijuih pun tak bisa melepas tawa. Ijuih bahagia tentu saja Ijai lebih
bahagia. Keduanya tampak begitu serasi, ibarat setangkai mawar di dalam vas kaca di atas meja, tiada
cacat sama sekali. Orang akan bisa melihat dari balik kaca, tangkai mawar yang
menopang kelopaknya menawan indah.
Tak banyak orang yang mengetahui,
bagaimana awalnya mereka bertemu. Mereka bukan selebriti papan atas yang saling
lomba mengumbar sensasi atau petinggi-petinggi negara yang heboh dengan korupsi.
Mereka hanya dua sejoli yang tak ingin dilupakan, tapi berharap mendapat
pengakuan. Ijai dan Ijuih bukan pasangan ideal, tapi sangat konsisten dengan
komitmen hubungan mereka. Tak peduli siapa kamu di masa lalu, atau bagaimana
kamu di lima atau sepuluh tahun akan datang, hidupmu hari ini adalah mimpimu
saat ini. Kata-kata yang menurut mereka sangat sakti menyatukan jiwa mereka,
hingga akhir waktu yang tak terdefinisi timer hentinya.
***
Malam Minggu di taman Cinta. Langit
begitu indah untuk terus dipandangi. Kerlap-kerlip bintang seolah tak mau kalah
dengan cahaya warna-warni lampu-lampu taman. Di mana-mana, dijumpai banyak
wanita dan pria berpasangan, tak peduli usia, tua-muda siapa pun boleh melepas
rindu saling sua di sini. Tempat ini banyak menyimpan sejarah dan cerita
romantis para pengunjungnya. Siapa pun boleh merequest, tinggal pilih yang mana: cerita romantis bahagia atau
cerita tragis ending tak bahagia,
bahkan tanpa bumbu cinta, hanya rempah-rempah kehidupan yang tak dimakan
setelah menyatukan aroma dan rasa sedap di dasar panci kuah sup.
Ijai berjalan lesu menepi ke sudut
taman. Dipilihnya salah satu bangku, tak ada siapa-siapa di sana. Ia duduk
terkulai, tampaknya ia begitu kelelahan. Tak seorang pun akan mengira, wig hitam sebahu di kepalanya itu sebenarnya
laki-laki gagah. Rok merah lima belas sentimeter di atas lutut itu, begitu
seksi berkolaborasi dengan legging
hitam, menutupi rambut-rambut kaki jenjangnya. Ia begitu menggoda di antara
makhluk-makhluk cantik di taman itu. Ia sedang menunggu seseorang. Berkali-kali
diceknya layar BlackBerry berbalut
plastik pink di genggamannya. Tak ada
panggilan atau pesan dan semacamnya di situ. Ia menengok ke kiri dan ke kanan
sembari mengomel-ngomel.
“Aduh, kok si oom lama banget siy,”
dilihatnya handphone itu sekali lagi.
Menekan tombol paling kiri berwarna hijau. Menelepon salah satu daftar
panggilan keluar yang ada di sana. Sekali, dua kali, tiga kali tak ada jawaban.
“Kalau tahu akan begini, mending aku jalan sama bapak pejabat yang tadi aja.
Lebih berkelas, ke hotel. Kalau bukan angka tiga juta itu, akh....” ia kesal dan
melempar benda kecil itu ke depan.
“Woy!” Lemparan Ijai tepat mengenai
pelipis kanan Ijuih yang kebetulan lewat di depan Ijai duduk. Ijai tak berani
menatap, Ijuih memelototkan mata dan mendengus kesal.
“Maaf Uni, tidak sengaja,”
“Kalau marah kira-kira donk!” Ijuih
berjongkok memunguti BlackBerry milik
Ijai. “Dasar orang kaya, bebe saja sama harganya dengan sekaleng Coca-cola.”
“Ondeh Uni, saya lagi be-te
nih Uni.”
“Trus? Masalah buat gue!”
“Tidakkah Uni bersedia menemani
saya duduk di sini. Mendendangkan kegalauan saya malam ini,” Ijuih
mengernyitkan dahinya, menempelkan tanda silang di sana.
“Sorry-sorry seh lah luh! Gak ada waktu, saya sibuk!”
“Tegakah Uni, membiarkan saya
dibunuh sepi menunggu di sini?” Ijai kembali berlagu. Ijuih melirik sekilas, berpikir
sejenak. Melanjutkan langkah kakinya, sejurus berbalik arah menghenyak duduk di
samping Ijai.
“Apa untungnya saya menemani kamu?”
“Banyak. Tergantung mau apa?”
“Berkencan semalam dengan saya
bagaimana?” Ijuih merapatkan duduknya.
“Benarkah?”
“Ya, untuk wanita secantik kamu
siapa yang akan menolak,” Ijai keheranan, dengan agresif Ijuih merangkul
pundaknya. Membelai-belai rambutnya, dan opst... wig Ijai lepas. Ijuih melongo tak berkedip.
“Aduh... helm sayah...”
“Akh, bencong laknat!” Ijuih
melempar wig ke wajah Ijai.
“Aduh! Lesbiola ya nek?” Ijai
merapikan rambut palsu indahnya.
“Keparat lo!”
“Lo keparat! Mang enak kena tipu.
Hahaha!”
Ijai dan Ijuih saling melempar
ejekan. Tak ada yang ditutupi, sama-sama ketahuan belangnya. Ijai gagah
ternyata bencong komersil penuh pesona. Tanpa bercerita, Ijuih cantik rupanya
tak pernah suka dengan pria. Taman Cinta menjadi saksi, Ijai dan Ijuih punya
kisah sendiri-sendiri. Pohon-pohon di taman saling berbisik, ada nggak ya
cerita yang lebih wow dari ini?
Setiap malam yang ada, wanita-wanita wangi penuh gaya menjajakan cinta kilat
pada pria hidung belang dengan berbagai level harga. Atau wajah-wajah ingusan
yang baru kenal manisnya cinta, menguji-uji nyali ekstrem mereka di sini.
Temaram lampu-lampu taman menyorot pose-pose mereka dalam gulungan pita
negatif. Terangkum rapi dalam album gemerlap duniawi.
Ijai memang tengah dilanda galau
tahap akut. Ia bingung mencari tambahan uang praktikum kuliahnya. Sisa tiga
juta lagi yang musti dicukupi dari lima juta yang harus ada hingga pertengahan
semester. Ia kehabisan nyali untuk merengek pada ayah-mandenya di kampung.
Lagipula, percuma mengadu pada mereka. Ayah yang mengandalkan panen musiman
mana punya lembaran uang sebanyak itu. Mande, akh mande ia tidak tega menganggu
wanita paruh baya itu setelah satu petak sawah tergadaikan untuk biaya
kuliahnya di kedokteran. Cukup tahu diri, berkelilinglah ia memasukkan ijazah
SMA dan curriculum vitae ke
mana-mana. Bermodal wajah manis bak artis Korea, ia kerja paruh waktu di salah
satu pusat hiburan ternama di Padang. Hidupnya tak lagi sehijau hamparan sawah
di kampung. Hening aroma padi berganti pikuk aroma alkohol dan dentuman musik disk jockey. Arus urbaninasi begitu
deras, kakinya tak kuasa bertahan.
“Sudah berapa lama manggaleh? Jadi santapan om-om gendut?”
Ijuih menyikut lengan Ijai.
“Satu tahun terakhir. Lihat nih,
patraku!” Ijai memamerkan bokongnya.
“Promosi di sini? Gak berkelas
banget.”
“Biasanya booking via online, kita check
in di hotel. Malam ini aja apes, ditipu pelanggan baru yang janjiin bayaran
gede, ketemuan di taman.” Ijai menatap Ijuih, “Kamu. Biasa main di sini?”
“Eh, nyari suasana baru aja.
Biasanya di depan Taman budaya,” Ijuih merunduk sendu.
“Ketahuan! Lagi galau ya?”
“Hahaha. Nggak bisa disembunyiin
ya?”
“Anak kedokteran juga mempelajari
ilmu kejiwaan,”
“Ya, cewek saya berkencan dengan
brondong kenalannya di BBM. Korban BlackBerry.”
Ijuih berbagi kisah pada Ijai.
Gadis manis itu jarang di rumah. Ibunya yang istri pengusaha ternama di Padang
selalu sibuk dengan teman-temannya sesama istri pengusaha. Ayahnya jangan
ditanya, giat melebarkan sayap-sayap emasnya hingga ke luar kota. Semua
fasilitas apa yang ia tidak punya. Bagai sulap, apa saja bisa didapatnya dengan
satu pinta. Bathinnya selalu meronta, bukan itu yang didamba-dambakannya.
Saudara ia tak punya, nenek-kakek sudah lama tiada, orang tua yang terbang
entah ke mana, membuatnya liar mencari kasih sayang di luar rumah. Tak sekali,
dua kali, ia harus menutup mata dari para pria. Sepuluh dari sembilan pria yang
mendekatinya semuanya buaya. Tak satu pun yang benar-benar tulus, hanya
mengharapkan harta bahkan tega menyakitinya. Bosan dengan itu, ia mencari
kelembutan sosok wanita yang telah lama hilang dari ibunya, bercumbu dengan
gadis-gadis seumurnya.
Obrolan panjang terus bergulir.
Terkadang diselingi cekikikan menertawakan ulah masing-masing. Saling
menumpahkan kegalauan satu sama lain. Tak terasa jarum jam berdentang tepat di
angka dua belas. Makhluk-makhluk bernama manusia yang sedang asyik
bergentayangan, berhamburan. Saling memacu langkah, mendahului. Bahkan, ada
yang masih telanjang dada terbirit-birit menyelamatkan diri. Priitt...!
Priiitt...! Peluit panjang berkali-kali.
“Banci
keparat! Kena kau ya!” Seorang petugas berseragam hijau tua, berbadan kekar,
dan berkumis tebal mencekal lengan Ijai. Ijuih pun tak luput dicengkram lelaki
sangar, berotot besar lainnya.
“Apa
salah saya, Pak! Lepaskan. Lepaskan!” Ijuih meronta. Dua lelaki bertampang
sadis terus menyeret Ijai dan Ijuih, menaikkan mereka ke atas truk bertuliskan
satuan pamong praja. Di sana, muda-mudi telah berjejer rapi dengan berbagai
gaya dan ekspresi.
***
“Tolong
lepaskan saya Pak....” Ijai memohon pada salah seorang petugas yang tengah
mengetik. “Besok saya kuliah jam delapan, Pak. Tolonglah Pak, saya mohon....”
“KTP
kamu mana. Banci kaleng, cengeng!” pinta petugas itu lantang.
“Ini
Pak. Tolong, jangan kasih tau orang tua saya di kampung Pak.” Ijai kembali
mengiba. “Mereka sudah tua. Saya tidak mau mereka bertambah susah dengar berita
saya.”
“Diam
atau saya borgol tu mulut! Dasar banci!”
“Saya
memang banci Pak! Tapi, saya bukan binatang yang Bapak seret dan
bentak-bentak!” Ijai terpancing emosi. Aura lelakinya berpendar memancar.
“Banci
laknat!” Kepala Ijai ditekuk ke meja. Sebuah cengkraman besar melingkar di tengkuknya.
“Mau coba-coba dengan saya ya. Sini kamu!”
Ijai
digiring ke luar, ke halaman yang tidak terlalu luas. Ia ditelanjangi, hanya
berbalut rok mini dan legging hitam.
Petugas menyuruhnya berjongkok dengan kedua tangan dilipat ke belakang,
digantung ke tengkuk. Hawa dingin menusuk tubuhnya. Ia menggigil menahan perih
di ujung bibir. Petugas itu tak main-main. Ijai pasrah, nyalinya menciut. Wajah
mande yang lelah membayang di pelupuk mata. Tak tega ia mengingat gurat letih
ayah dengan kondisinya. Dosen kesayangan yang mengajar di kelasnya, seolah
menuding ke dada ratanya.
“Pak,
tolong lepaskan teman saya Pak.” Giliran Ijuih.
“Uhm,
KTP!” Petugas itu membelalakkan matanya yang tidak besar.
“Bapak
tahu Pak Haji Malin?” Ijuih meyakinkan. “Saya putri tunggalnya.”
Petugas
itu menyipitkan matanya, memandang Ijuih menyelidik. Tawar-menawar yang lumayan
panjang terjadi. Ijuih diizinkan menelepon orang tuanya. Pembicaraan pun
disambung tiga arah. Petugas terlibat negosiasi serius di gagang telepon. Ia
memandang Ijuih dan mengangguk mantap. Tiga puluh menit kemudian seseorang
datang melayangkan selembar cek bertuliskan nominal yang sangat lumayan ke meja
petugas berwajah sangar. Kumisnya yang tebal menyungging lebar penuh kepuasan. Ijai
dibebaskan, diantar pulang bersama Ijuih oleh suruhan pribadi yang diutus ayah
Ijuih menebus anaknya. Sepanjang jalan Ijuih terus mengutuk.
“Dasar
keparat! Pake cek aja lewat!”
***
Ijai
dan Ijuih melenggang santai di taman. Mereka saling berpandangan, kemudian
tertawa cekikikan mengenang kisah pertemuan pertama mereka tiga tahun silam.
“Seandainya
ada patroli, siap gak buat lari?” Ijai menyikut lengan Ijuih.
“Tenang.
Telepon aja ke rumah. Minta diantarin cek bank. Beres!”
“Hahaha...”
Tawa Ijai lepas. “Jadi kita ke sini hanya buat napak tilas pertemuan kita?”
“Ya,
bisa jadi.”
“Tidak
adakah kencan romantis?”
“Kencan
romantis?” alis Ijuih mengerucut. “Wah cewek itu manis banget...” Ijuih
menunjuk salah seorang gadis kece yang sedang duduk di salah satu bangku taman.
“Tidakkah
waktu tiga tahun itu cukup lama bagi kita. Untuk menjalani hubungan ini secara
layak?” Ijai menatap Ijuih penuh. Ia berdiri gagah di depan Ijuih, tanpa wig dan rok mini berlegging hitam. Ia telah lama berubah. Ia tak lagi berdandan menor menjaja cinta. Ijuih tak
bergeming. Ia biarkan angin taman berlalu meniupkan aroma senja.*** Padang,
Desember 2012
Bee
Joeytha, nama pena dari Lia Irma Juita, lahir 30 Juli 1988 di Sikabau, lurah
kecil di kabupaten pamekaran Dharmasraya, Sumatera Barat. Menyelesaikan bangku
pendidikan dari TK hingga SMA di tanah kelahiran dengan lancar dan nilai yang
memuaskan. Berperawakan kecil, sedikit narsis dan suka jalan-jalan—bisa dibuktikan
dengan mengunjungi timelinenya di Bee Joeytha on Facebook atau twitt @BaBy_j0eYth4 on
Twitter. Saat ini, tercatat sebagai mahasiswi pada salah
satu perguruan tinggi swasta di Padang, tepatnya di STKIP PGRI Sumbar, Prodi
Pendidikan Bahasa Inggris. Dari jaman ingusan sudah jatuh hati dengan dunia
kepenulisan, hobi menggambar dan bercerita—makanya hampir tiap hari ditegur
guru, gara-gara gangguin teman sebangku karena ada-ada saja cerita baru
berlompatan keluar saat jam pelajaran— makin cinta di dunia kepenulisan sejak
cerpen perdana Bu Fatimah, dipajang
di mading sekolah dan mendapat respon
dukungan dari para guru terutama guru bahasa Indonesia SMP—dulu SLTP N 2 Pulau
Punjung sekarang berganti nama SMP N 8 Dharmasraya— dan masih dalam suasana
putih biru, untuk pertama kalinya puisi Sang
Surya Hadirlah! dimuat di salah satu majalah anak nasional, Ino 2003. Nama
pena Bee Joeytha, diadopsi dari nama Baby—panggilan kesayangan dari teman-teman
terdekat, hingga meluas ke seantero sekolahan SMA N 1 Sitiung, bahkan sampai
sekarang— jaman SMA aktif menulis cerpen, puisi, dan artikel di mading kelas,
buletin sekolah, dan blog almamater serta buletin kampus atas nama almamater
dengan nama pena Baby Cute. Sekarang, amat sangat bersyukur telah dipertemukan
dengan rekan-rekan penulis dalam wadah FLP—Sekmen FLP ranting STKIP PGRI
Sumbar— yang mengantarkan angan selangkah demi langkah menggapai impian, dengan
karya perdananya tercover dalam buku antologi dan puisi “Tulisan”—hasil
gotong-royong 13 anggota FLP Sumbar, terbit Mei 2013—. Punya motto andalan,
hasil kutipan dari halaman blog orang lain: tulislah namamu sebelum nisan
menuliskan namamu. Tulisan-tulisannya yang lain silakan kunjungi Poerie
Imajinasi di laman beejoeytha.blogspot.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar