Rendezvous di atas Angin
Cerpen
: Bee Joeytha
Dalam ruang kecil itu, tengah
malam tepat pukul dua belas kurang sepuluh menit. Lampu kamar masih dibiarkan
menyala. Musik instrumental mengalun sendu menjadi soundstrack tersendiri malam itu. Dua pasang cicak ragu merayap,
saling diam di pojok tembok. Tak seekor pun nyamuk malam itu.
Cicak-cicak bersedih. Tajamnya racun asap pengusir nyamuk, membasmi habis santap
malam mereka. Suasana kamar itu sama. Pemilik kamar juga dirundung resah
gelisah. Selang dua menit, diliriknya jam Doraemon yang menempel di dinding.
Matanya sulit sekali diajak kompromi. Berkali-kali dibujuknya untuk terpejam,
tetap tak bisa. Berkali-kali pula ia memainkan telepon genggam merk ternama
seri terbaru miliknya. Dalam hati ia berharap, ada panggilan dari nama itu di
layar. Sebaris nama yang diatur khusus untuk laki-laki yang satu tahun terakhir
ini mengisi hatinya.
Kamar
yang didisain minimalis itu bercat merah muda. Warna kesukaan para gadis belia
pada umumnya. Di daun pintu, baik luar maupun bagian dalam bertempel sebuah tulisan
besar. Tulisan itu bertuliskan Danisha. Tersusun seperti rantai pada potongan
kain flannel warna-warni. Satuan huruf-huruf itu adalah nama pemilik kamar itu.
Usianya baru menginjak dua puluh tahun. Kulitnya putih langsat, tipikal kulit
tercerah wanita Indonesia. Rambutnya hitam bergelombang, dibiarkan panjang
sebahu. Tak seorang pun
yang tahu, kecuali seluruh anggota rumah keluarga besarnya. Sehari-hari dia
selalu menutup kepalanya dengan jilbab. Saat ini, tercatat sebagai mahasiswi
semester enam di salah satu perguruan tinggi swasta di Padang. Dia tidak
memiliki seorang pacar seperti yang teman-temannya banggakan. Baginya, adanya
laki-laki lain sebagai pasangan bukan sebuah keharusan untuk dimiliki apalagi
dipamerkan.
Namun,
saat ini ada satu nama yang tengah merisaukan hatinya. Farhan Sopian. Nama anak laki-laki yang begitu menawan di
hatinya. Gadis itu sedang berbunga-bunga. Laki-laki yang bernama Farhan itu
dikenalnya dari sebuah perjodohan. Dijodohkan oleh Pak Hadi. Pemilik sebuah
warung makan pinggir jalan, di jalanan menuju kampus tempat ia mengejar titel
sarjana strata satu. Danisha sering makan di sana. Sendiri, atau bersama
teman-teman sekelasnya. Ia mudah bergaul dan cepat dekat dengan siapa saja.
Termasuk Pak Hadi, yang telah dianggapnya sebagai orang tua sendiri. Saking
akrabnya hubungan di antara mereka. Pak Hadi berinisiatif untuk menjodohkan
anak laki-laki semata wayangnya. Usia anaknya tak jauh beda. Terpisah jarak
tiga tahun di atas Danisha.
Pak
Hadi sangat bersyukur memiliki anak seperti Farhan. Begitu cerita beliau dengan
semangat tiap kali Danisha mampir ke warung. Selain pintar, Farhan anak rajin
dan penurut. Farhan yang baik hati telah memiliki pekerjaan. Sebuah pekerjaan
yang cukup pantas dibanggakan, di tempat paling bonafit incaran banyak orang.
Sebagai karyawan di sebuah bank swasta dengan gaji lebih dari lumayan. Sambil
bekerja, Farhan melanjutkan
pendidikan strata dua demi kenaikan jabatan dan tentu saja penghasilan. Sedikit
demi sedikit Farhan juga telah menyiapkan tabungan untuk masa depan. Secara
berkala ia menyisihkan sejumlah dana untuk biaya angsuran rumah di sebuah
komplek perumahan. Kata Pak Hadi, anaknya telah siap untuk menikah. Masalah
pekerjaan tak perlu diragukan, tempat tinggal pun tak usah dicemaskan
lagi. Ia sudah sangat mapan. Didukung pula dengan wajah yang lumayan tampan,
tak sedikit gadis yang mendambakan.
Farhan
mungkin sangat beruntung dalam hal pendidikan, karir dan keuangan. Tetapi tidak
dalam hal perasaan. Dia sangat pemalu dan tertutup. Kelemahan yang tidak bisa
dilawannya. Dia hanya terbuka pada ayahnya saja. Sang ayah yang selalu
menyemangatinya bila dihadapkan pada persoalan wanita. Sudah beberapa
kali Farhan memberanikan diri untuk dekat dengan wanita. Namun sayang, beberapa
kali pula ia harus mendekam dalam perasaan kalut berlarut-larut. Tak satu pun yang pernah
dijumpainya membalas dengan tulus niat baiknya. Karena alasan itulah, ia
menyerahkan sepenuhnya masalah pasangan hidup pada ayahnya. Menurutnya, pilihan
orang tua itu pasti lebih baik. Ia tak mau menderita lagi. Tapi, urusan hati
memang tak bisa dipaksakan. Pilihan hati tak satu pun orang bisa menebak,
ia memutuskan sendiri siapa belahannya. Sudah banyak gadis yang dikenalkan Pak Hadi
padanya. Namun, tak satu pun
yang menarik perhatiannya. Hingga berjumpalah ia dengan Danisha lewat udara,
sambungan perangkat telepon. Perkenalan yang diatur Pak Hadi, berharap Danisha bisa
menjadi penawar luka hati anaknya. Danisha anak yang baik dan
mudah menaruh iba, kasihan mendengar kisah yang
dituturkan Pak Hadi tentang putranya. Ia pun menerima tawaran Pak Hadi. Farhan
yang kesepian dan tak betah sendiri, perlahan juga jatuh hati.
“Bagi
Abang tidak ada cerita main-main. Kalau iya itu iya. Abang nunggu jawaban dari Adek
aja. Kita sudah sama-sama dewasa. Hubungan kita bukan hubungan ABG atau anak
SMA lagi. Abang suka sama Adek bukan untuk dijadikan pacar, tapi pendamping
hidup. Bagi Abang kalau ayah sudah setuju, tunggu apa lagi? Karna menurut Abang,
diri sudah mapan makanya berani berkata seperti ini,” begitulah suara berat
Farhan menjelaskan niatnya pada Danisha di telepon, setelah satu minggu
berkenalan. Pasalnya, Farhan anak yang pemalu terhadap wanita. Dia hanya
cerewet jika berbicara dalam sambungan jarak jauh saja.
“Maaf
Bang, tidak bisa secepat itu. Kita belum lama berkenalan, sekalipun belum
pernah bertemu. Kemapanan materi saja tidak bisa jadi patokan, kita harus siap
dulu secara mental. Menyatukan dua watak yang berbeda itu tak mudah. Sebaiknya,
kita harus saling mengenal satu sama lainnya dulu, Bang. Lagipula, orang tua
Danisha tidak akan setuju menikah secepat ini. Danisha masih kuliah,” dengan
bijak Danisha mengungkapkan ketidaksiapannya menerima pinangan Farhan via
telepon. Ia pun berpikir, hidupnya masih terlalu muda untuk lekas-lekas berumah
tangga. Ia tidak ingin menggugurkan harapan kedua orang tuanya untuk meraih
gelar sarjana.
“Bisa
saja menikah sambil kuliah. Banyak kok orang seperti itu, toh kuliahnya selesai
juga. Masalah biaya, biar Abang yang tanggung. Sekaligus meringankan beban orang
tua, biar orang tua Adek mengurus biaya sekolah adik-adik saja,” Farhan
berusaha membujuk. Danisha marah.
“Abang
sombong. Abang tidak bisa merayu Danisha dengan janji manis seperti itu. Materi
bisa dicari Bang. Kebahagiaan tak bisa diukur dengan uang. Danisha belum siap,
nikah itu bukan main-main. Itu sangat serius, kita akan hidup lama bersama, bukan? Kita pikirkan
matang-matang dulu lah Bang.”
Farhan
terharu mendengar penuturan Danisha yang lembut keibuan. Hatinya kembang kempis
tak karuan. Bersyukur ia telah diperkenalkan dengan gadis itu. Ayahnya tak
salah memilihkan. Hatinya yakin, gadis inilah jodoh yang telah dikirimkan Tuhan
untuknya. Seperti yang digambarkan ayahnya tentang gadis itu. Danisha anak baik
dan penyabar. Ia yakin Danisha bisa menjadi satu-satunya wanita yang akan
mencintainya dengan tulus. Penghuni istana hatinya, dan menetap lama di sana hingga ajal
memisahkan. Meski ia belum juga bisa meluluhkan hati Danisha untuk segera ke
pelaminan. Perasaannya tidak akan berubah. Hatinya takkan berpaling ke yang
lain. Ia telah mematenkan nama Danisha sebagai label hatinya. Walau sekali pun belum pernah
berjabat tangan, tujuan hatinya sekarang hanya Danisha seorang.
Sudah
hampir setahun mereka berhubungan. Namun, tak jua ada kesempatan untuk
mengadakan pertemuan. Entah kenapa, ada-ada saja alasan yang menggagalkan
rencana untuk bertemu. Anehnya, itu terjadi di menit-menit terakhir
pada hari H akan berjumpa. Farhan tipe pekerja keras dan disiplin dalam
bekerja, tak punya banyak waktu luang. Danisha pun tak bisa santai dengan semua
kewajiban kuliahnya. Baik Danisha maupun Farhan tak berputus asa, memandang
positif semua hal yang mereka alami. Terkadang tak luput juga dari rasa kecewa.
Faktor didikan keluarga yang taat beragama, keduanya saling mengingatkan.
Danisha maupun Farhan saling menguatkan
untuk selalu berhusnudzan pada rencana Tuhan.
Bagi jiwa yang ikhlas
kebahagiaan itu indah, bagi jiwa yang sabar kebahagiaan itu semakin indah,
semoga kita adalah orang-orang yang sabar dan ikhlas menjalani ini semua,
semoga indahnya kebahagiaan itu dihadiahkan untuk kita, seperti rindunya Adam,
seindah pertemuannya dengan Hawa, kalimat penguat
hati keduanya. Mereka akan saling berkirim pesan singkat dengan kalimat-kalimat
itu. Sebagai penawar kekecewaan mereka tiap kali gagal bertemu.
Pak
Hadi pun heran. Puluhan tanda tanya berlompatan di benaknya, apa yang salah
dengan perjodohan ini. Di balik kaca matanya ia melihat betapa cocoknya kedua
anak itu, baik dari rupa maupun perilaku. Laki-lakinya tampan, perempuannya tak
kalah manis rupawan. Laki-lakinya shaleh, perempuannya pun ramah dan santun.
Kombinasi yang pas bila disatukan. Bapak paruh baya itu pun menaruh iba pada
anak dan calon mantunya. Apalagi jika mendengar putra semata wayangnya
mencurahkan kegalauan hatinya tentang Danisha. Ia tak bisa berbuat apa-apa.
Semua terjadi pasti ada pengaturnya.
“Baguslah
bagi kalian. Kalian sama-sama alim. Barangkali inilah cara Tuhan memelihara
kalian. Jadi, baik Kamu maupun dia sama-sama mendapati diri kalian bersih satu
sama lain. Sama-sama belum terjamah, bersentuhan yang bukan muhrim itu haram.
Kamu tahu itu bukan?” Nasehat Pak Hadi, jika dilihatnya Farhan mulai bermenung
murung di depan televisi. Farhan yang letih dengan aktivitas kantornya di siang
hari, terpaksa sabar menahan diri.
Sungguh di luar logika, jarak rumah yang begitu dekat tak
bisa diadakan pertemuan. Jangankan sejam sedetik pun tidak. Danisha pun kadang
patah arang. Bahkan ingin menyerah pada sikap lemah Farhan yang pasrah saja pada
keadaan. Pada suatu kesempatan, Farhan pernah berjanji akan mengunjungi Danisha
ke rumahnya bersama keluarganya, sekaligus silaturahim dua keluarga besar. Ia
telah memberitahukan perihal kedatangan Farhan kepada kedua orang tuanya. Kedua
orang tuanya pun menanggapi dengan baik. Bagi mereka apapun pilihan anaknya,
asal jelas dan dijalani sesuai aturannya sah-sah saja, toh jodoh sudah ada yang
mengaturnya. Danisha takkan lupa kejadian waktu itu. Kejadian yang mengawali
semua kejadian ganjil berikutnya.
Danisha telah mempersiapkan segalanya. Rumah yang biasanya
dibersihkan sekenanya. Karena ada kabar Farhan akan datang, berhasil disulap
Danisha tiga kali lipat lebih cling dan wangi tak lebih dari satu hari. Seperti
iklan pembasmi kuman di televisi. Masakan spesial pun telah disajikan. Tanpa
bantuan siapa pun Danisha melakukan semuanya dengan penuh perasaan. Harap-harap
cemas Danisha menanti kedatangan Farhan. Antara optimis dan pesimis, melihat
dari kejadian yang sudah-sudah. Rencana yang telah diatur sempurna berbuah
gagal dan kecewa. Danisha trauma. Dalam pikirannya ia mereka-reka. Alasan
apalagi yang akan didengarnya dari Farhan.
Seharian hatinya dibaluti puluhan perban rasa gelisah.
Yang dinantikan tak kunjung datang. Tak satu pun kabar berita mampir di layar
ponselnya. Berkali-kali dicobanya menghubungi Farhan. Nihil. Nomor yang dituju
sedang tidak aktif. Risau hatinya makin melonjak-lonjak. Hingga maghrib,
sebaris pesan singkat muncul di layar ponselnya,
“Sayang maafin
Bang ya baru balas, bukan Bang ingkar janji semalam kakak ayah meninggal di
rumah sakit.”
Danisha diam terpaku. Tak henti ia mengucap dalam hati.
Kenapa ini. Ada apa ini. Pikirannya kacau. Benarkah alasan ini. Hatinya sangsi.
Terlintas klise-klise tak beraturan di memorinya, kisah-kisah yang diputar Pak
Hadi seputar anaknya. Cerita tentang banyaknya gadis yang tergila-gila pada
Farhan. Sejarah gadis cantik yang memohon-mohon minta balikan setelah
diputuskan Farhan. Hatinya mendua, mentiga, terpecah-pecah. Adakah Farhan
sungguh-sungguh ingin menjalin hubungan ini dengannya. Ia mengira-ngira, bisa
saja Farhan berpaling hatinya, kembali memaafkan mantan kekasihnya, dan pergi
meninggalkan dia. Bisa saja semua alasan ini hanya jadi tirai penutup gambaran
isi hatinya yang sebenarnya bukan untuk dia. Danisha terserang kalut tingkat
akut.
***
Malam
itu, dalam ruang yang masih dinaungi cahaya terang. Danisha masih menanti. Lima
lembar halaman Al Qur’an berikut terjemahan telah dibacanya. Kata kakeknya,
jika hati sedang rusuh ambillah wudu, baca Al Qur’an serta terjemahannya. Berdoalah
pada Tuhan, minta dilapangkan
segala kesusahan. Meski kakek telah lama tiada, nasehat-nasehatnya akan tetap
ada dalam ingatan Danisha. Maka dipraktekkannyalah nasehat itu. Dan ajaib! Ia
tersenyum pada dirinya sendiri. Dan berkata lirih, tenang Danisha! Rencana Allah itu indah. Kalau memang dia terlahir
adalah untukmu, takkan ada alasan lagi yang menghalangi untuk bertemu. Allah
pasti telah menyiapkan sebuah kejutan paling indah untukmu. Yakin dan sabarlah
menunggu hari itu. Ditahannya hasrat untuk menjatuhkan air mata. Namun,
kelopak matanya tak mampu membendung.
Malam
makin larut. Hawanya semakin dingin menusuk. Dipaksanya saja untuk tidur.
Danisha merapikan susunan bantal. Ia biasa
menumpuk dua bantal tipis jadi satu sebagai alas kepala. Ia merasa
nyaman dengan posisi seperti itu. Sebelum benar-benar terpejam, ia masih
menerawang. Puluhan kalimat menggantung
di langit-langit pikirannya. Seandainya ia memiliki keberanian untuk keluar
malam itu. Ia akan lari dengan sepeda gunungnya ke rumah Farhan. Menemui Farhan
untuk memberikan ucapan perpisahan secara langsung. Bahkan, menantang Farhan
untuk membuktikan rasa sayangnya untuk membatalkan kepindahan. Akh! Tapi ini
bukan drama Korea. Ia masih sadar akan norma dan etika. Danisha hanya bisa
berandai-andai. Andai tadi pagi ia tidak ujian, pastilah tadi bingkisan cokelat
di atas meja itu berada di atas meja Farhan. Andai tadi sore Farhan tidak
dipanggil atasannya ke kantor, pastilah ia tak serisau ini.
Farhan
telah meneleponnya kemarin sore. Memberitahukan bahwa ia mendadak dimutasikan
ke luar Sumatra. Danisha terperangah, Farhan pun tak kuasa menolak. Perubahan
ini diputuskan secara tiba-tiba. Tapi sebelum berangkat, Farhan ingin bertemu
dulu dengan Danisha. Mustahil tak bisa dilakukan pertemuan. Keduanya sama-sama
berdomisili di satu kota yang sama. Entahlah. Dua kesempatan telah terlewatkan
sepanjang hari tadi. Malam itu Farhan berjanji akan menelepon, tapi hanya
sebaris pesan singkat yang mampu dikirimnya. Masih banyak berkas yang belum
selesai dirampungkannya di kantor. Besok jam dua siang ia akan terbang ke pulau
seberang. Sedikit pesimis, ia berjanji akan menemui Danisha jam sebelas pagi di
warung ayahnya. Danisha tersedu pasrah. Perlahan dipejamkannya juga mata.
Sampai
pagi, tak sepotong video pun
mimpi indah melintas di memorinya. Ia tak bermimpi apa-apa. Kumandang adzan
subuh, menuntunnya bangun. Sedikit berat ia memaksa kedua kelopak matanya
terbuka. Menuruni ranjang, menyeret langkahnya mencari pintu ke luar. Meraih
kamar mandi yang terletak di luar kamar. Meraba-raba, ia berjalan melewati
ruang tengah dan meja makan. Di depan kamar mandi ia termenung, langkahnya
terhenti. Dengungan deru pesawat begitu nyaring melintas di atas atap. Deg! Badannya menegang kaku. Puluhan palu
memukul-mukul dinding jantungnya. Pikirannya kacau. Tak mampu memikirkan
apa-apa. Dia terus berharap Farhan masih tertidur pulas di kamarnya. Ia
berjuang menghalau galau yang merisau.
***
Dalam
kelas tak ada Danisha. Raganya saja yang duduk manis memainkan lembar demi
lembar buku catatan. Jiwa dan hatinya mengambang di udara, mencari-cari Farhan
yang belum pernah dijumpainya. Wajah Farhan yang selalu diam tak berkata-kata,
tak pernah senyum padanya, hanya memandangnya saja di selembar foto ukuran
empat R. Selembar yang dicetaknya sendiri, disalin dari sebuah foto profil
situs jejaring pertemanan.
Danisha
lega, jam kuliah pagi itu usai. Meski tak merasa lapar, walau tadi tidak sempat sarapan. Sebelum pulang ia mampir ke
warung Pak Hadi. Lokasinya tak jauh dari kampus, di pinggir jalan menuju gang
besar ke luar gerbang utama kampus. Ia sengaja datang ke sana. Sesuai dengan pesan
yang dikirim Farhan semalam. Ia akan menemui Danisha di sana. Pak Hadi tak
berkomentar apa-apa, hanya sedikit basa-basi. Ada gurat sedih di matanya, tak
tega ia melihat rupa Danisha. Calon menantu kesayangannya. Sambil menunggu,
Danisha menawarkan lambung kecilnya dengan sepiring nasi goreng spesial buatan
calon ayah mertua. Tak berselera ia makan sesuap demi suap. Diam-diam Pak Hadi memperhatikannya.
Sesekali diajaknya Danisha bercanda. Danisha mencoba tersenyum, getir hatinya
menanti. Si Farhan tak bisa dihubungi. Danisha menyudahi makanannya. Seolah
paham, Pak Hadi menghampiri.
“Bapak. Sebenarnya Bang Farhan serius nggak sih sama Danisha.
Masa iya, orang setampan dan sebaik dia mau sama mahasiswi kayak Danisha?”
Danisha tak tahan ingin melontarkan pertanyaan yang telah lama dipendamnya.
“Danisha, Farhan itu orangnya lurus. Kalau satu katanya
ya satu. Orangnya sungguh-sungguh,”
“Tapi, kenapa dia tidak pernah sekali pun memberanikan
diri menunjukkan keseriusannya sama Danisha,” Danisha tersulut emosi. “Selalu
saja Bapak yang menjadi juru bicara, seakan-akan hanya Bapak yang bersikeras menginginkan
perjodohan ini. Lagipula, mustahil tak satu pun gadis cantik di sana yang
menarik hatinya.”
“Itulah Si Farhan, Kamu harus bisa menerima keadaannya
yang seperti itu. Tak pernah Bapak lihat ia begitu semangat tiap kali berbicara
tentang Kamu,” Pak Hadi membela diri. “Percayalah Nak, Farhan itu tidak akan
main-main.” Danisha terdiam.
“Danisha,
tadi Farhan lapor ke Bapak. Katanya akan menemui Kamu di sini,” Pak Hadi tak
melanjutkan kalimatnya. Ia menarik napas. Danisha hanya diam, menunggu
sambungan kata-kata beliau.
“Tadi
Farhan pesan, tolong sampaikan maafnya sama Danisha. Dia pusing tuh
sekarang, semalam atasannya nelpon nyuruh dia berangkat pagi ini juga.
Subuh-subuh dia langsung pergi. Menangis dia cerita pada Bapak, kenapa ada saja
hambatannya buat ketemu,”
Danisha
bisu. Matanya berkaca-kaca. Dipaksanya supaya tidak menjatuhkan air mata di hadapan Pak Hadi.
“Jangan
menangis ndak Nak. Kalau jodoh pasti bertemu. Do’akan saja Farhan selamat di
rantau orang.” Pak Hadi tak mau lagi
melanjutkan kata-kata. Dibiarkannya saja Danisha pergi meninggalkan warung. ***Padang, Oktober 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar