Minggu, 21 Juli 2013

Rendezvous di Atas Angin

Rendezvous di atas Angin
Cerpen : Bee Joeytha

Dalam ruang kecil itu, tengah malam tepat pukul dua belas kurang sepuluh menit. Lampu kamar masih dibiarkan menyala. Musik instrumental mengalun sendu menjadi soundstrack tersendiri malam itu. Dua pasang cicak ragu merayap, saling diam di pojok tembok. Tak seekor pun nyamuk malam itu. Cicak-cicak bersedih. Tajamnya racun asap pengusir nyamuk, membasmi habis santap malam mereka. Suasana kamar itu sama. Pemilik kamar juga dirundung resah gelisah. Selang dua menit, diliriknya jam Doraemon yang menempel di dinding. Matanya sulit sekali diajak kompromi. Berkali-kali dibujuknya untuk terpejam, tetap tak bisa. Berkali-kali pula ia memainkan telepon genggam merk ternama seri terbaru miliknya. Dalam hati ia berharap, ada panggilan dari nama itu di layar. Sebaris nama yang diatur khusus untuk laki-laki yang satu tahun terakhir ini mengisi hatinya.
Kamar yang didisain minimalis itu bercat merah muda. Warna kesukaan para gadis belia pada umumnya. Di daun pintu, baik luar maupun bagian dalam bertempel sebuah tulisan besar. Tulisan itu bertuliskan Danisha. Tersusun seperti rantai pada potongan kain flannel warna-warni. Satuan huruf-huruf itu adalah nama pemilik kamar itu. Usianya baru menginjak dua puluh tahun. Kulitnya putih langsat, tipikal kulit tercerah wanita Indonesia. Rambutnya hitam bergelombang, dibiarkan panjang sebahu. Tak seorang pun yang tahu, kecuali seluruh anggota rumah keluarga besarnya. Sehari-hari dia selalu menutup kepalanya dengan jilbab. Saat ini, tercatat sebagai mahasiswi semester enam di salah satu perguruan tinggi swasta di Padang. Dia tidak memiliki seorang pacar seperti yang teman-temannya banggakan. Baginya, adanya laki-laki lain sebagai pasangan bukan sebuah keharusan untuk dimiliki apalagi dipamerkan.
Namun, saat ini ada satu nama yang tengah merisaukan hatinya. Farhan Sopian. Nama anak laki-laki yang begitu menawan di hatinya. Gadis itu sedang berbunga-bunga. Laki-laki yang bernama Farhan itu dikenalnya dari sebuah perjodohan. Dijodohkan oleh Pak Hadi. Pemilik sebuah warung makan pinggir jalan, di jalanan menuju kampus tempat ia mengejar titel sarjana strata satu. Danisha sering makan di sana. Sendiri, atau bersama teman-teman sekelasnya. Ia mudah bergaul dan cepat dekat dengan siapa saja. Termasuk Pak Hadi, yang telah dianggapnya sebagai orang tua sendiri. Saking akrabnya hubungan di antara mereka. Pak Hadi berinisiatif untuk menjodohkan anak laki-laki semata wayangnya. Usia anaknya tak jauh beda. Terpisah jarak tiga tahun di atas Danisha.
Pak Hadi sangat bersyukur memiliki anak seperti Farhan. Begitu cerita beliau dengan semangat tiap kali Danisha mampir ke warung. Selain pintar, Farhan anak rajin dan penurut. Farhan yang baik hati telah memiliki pekerjaan. Sebuah pekerjaan yang cukup pantas dibanggakan, di tempat paling bonafit incaran banyak orang. Sebagai karyawan di sebuah bank swasta dengan gaji lebih dari lumayan. Sambil bekerja, Farhan melanjutkan pendidikan strata dua demi kenaikan jabatan dan tentu saja penghasilan. Sedikit demi sedikit Farhan juga telah menyiapkan tabungan untuk masa depan. Secara berkala ia menyisihkan sejumlah dana untuk biaya angsuran rumah di sebuah komplek perumahan. Kata Pak Hadi, anaknya telah siap untuk menikah. Masalah pekerjaan tak perlu diragukan, tempat tinggal pun tak usah dicemaskan lagi. Ia sudah sangat mapan. Didukung pula dengan wajah yang lumayan tampan, tak sedikit gadis yang mendambakan.
Farhan mungkin sangat beruntung dalam hal pendidikan, karir dan keuangan. Tetapi tidak dalam hal perasaan. Dia sangat pemalu dan tertutup. Kelemahan yang tidak bisa dilawannya. Dia hanya terbuka pada ayahnya saja. Sang ayah yang selalu menyemangatinya bila dihadapkan pada persoalan wanita. Sudah beberapa kali Farhan memberanikan diri untuk dekat dengan wanita. Namun sayang, beberapa kali pula ia harus mendekam dalam perasaan kalut berlarut-larut. Tak satu pun yang pernah dijumpainya membalas dengan tulus niat baiknya. Karena alasan itulah, ia menyerahkan sepenuhnya masalah pasangan hidup pada ayahnya. Menurutnya, pilihan orang tua itu pasti lebih baik. Ia tak mau menderita lagi. Tapi, urusan hati memang tak bisa dipaksakan. Pilihan hati tak satu pun orang bisa menebak, ia memutuskan sendiri siapa belahannya. Sudah banyak gadis yang dikenalkan Pak Hadi padanya. Namun, tak satu pun yang menarik perhatiannya. Hingga berjumpalah ia dengan Danisha lewat udara, sambungan perangkat telepon. Perkenalan yang diatur Pak Hadi, berharap Danisha bisa menjadi penawar luka hati anaknya. Danisha anak yang baik dan mudah menaruh iba, kasihan mendengar kisah yang dituturkan Pak Hadi tentang putranya. Ia pun menerima tawaran Pak Hadi. Farhan yang kesepian dan tak betah sendiri, perlahan juga jatuh hati.
“Bagi Abang tidak ada cerita main-main. Kalau iya itu iya. Abang nunggu jawaban dari Adek aja. Kita sudah sama-sama dewasa. Hubungan kita bukan hubungan ABG atau anak SMA lagi. Abang suka sama Adek bukan untuk dijadikan pacar, tapi pendamping hidup. Bagi Abang kalau ayah sudah setuju, tunggu apa lagi? Karna menurut Abang, diri sudah mapan makanya berani berkata seperti ini,” begitulah suara berat Farhan menjelaskan niatnya pada Danisha di telepon, setelah satu minggu berkenalan. Pasalnya, Farhan anak yang pemalu terhadap wanita. Dia hanya cerewet jika berbicara dalam sambungan jarak jauh saja.
“Maaf Bang, tidak bisa secepat itu. Kita belum lama berkenalan, sekalipun belum pernah bertemu. Kemapanan materi saja tidak bisa jadi patokan, kita harus siap dulu secara mental. Menyatukan dua watak yang berbeda itu tak mudah. Sebaiknya, kita harus saling mengenal satu sama lainnya dulu, Bang. Lagipula, orang tua Danisha tidak akan setuju menikah secepat ini. Danisha masih kuliah,” dengan bijak Danisha mengungkapkan ketidaksiapannya menerima pinangan Farhan via telepon. Ia pun berpikir, hidupnya masih terlalu muda untuk lekas-lekas berumah tangga. Ia tidak ingin menggugurkan harapan kedua orang tuanya untuk meraih gelar sarjana.
“Bisa saja menikah sambil kuliah. Banyak kok orang seperti itu, toh kuliahnya selesai juga. Masalah biaya, biar Abang yang tanggung. Sekaligus meringankan beban orang tua, biar orang tua Adek mengurus biaya sekolah adik-adik saja,” Farhan berusaha membujuk. Danisha marah.
“Abang sombong. Abang tidak bisa merayu Danisha dengan janji manis seperti itu. Materi bisa dicari Bang. Kebahagiaan tak bisa diukur dengan uang. Danisha belum siap, nikah itu bukan main-main. Itu sangat serius, kita akan hidup lama bersama, bukan? Kita pikirkan matang-matang dulu lah Bang.”
Farhan terharu mendengar penuturan Danisha yang lembut keibuan. Hatinya kembang kempis tak karuan. Bersyukur ia telah diperkenalkan dengan gadis itu. Ayahnya tak salah memilihkan. Hatinya yakin, gadis inilah jodoh yang telah dikirimkan Tuhan untuknya. Seperti yang digambarkan ayahnya tentang gadis itu. Danisha anak baik dan penyabar. Ia yakin Danisha bisa menjadi satu-satunya wanita yang akan mencintainya dengan tulus. Penghuni istana hatinya, dan menetap lama di sana hingga ajal memisahkan. Meski ia belum juga bisa meluluhkan hati Danisha untuk segera ke pelaminan. Perasaannya tidak akan berubah. Hatinya takkan berpaling ke yang lain. Ia telah mematenkan nama Danisha sebagai label hatinya. Walau sekali pun belum pernah berjabat tangan, tujuan hatinya sekarang hanya Danisha seorang.
Sudah hampir setahun mereka berhubungan. Namun, tak jua ada kesempatan untuk mengadakan pertemuan. Entah kenapa, ada-ada saja alasan yang menggagalkan rencana untuk bertemu. Anehnya, itu terjadi di menit-menit terakhir pada hari H akan berjumpa. Farhan tipe pekerja keras dan disiplin dalam bekerja, tak punya banyak waktu luang. Danisha pun tak bisa santai dengan semua kewajiban kuliahnya. Baik Danisha maupun Farhan tak berputus asa, memandang positif semua hal yang mereka alami. Terkadang tak luput juga dari rasa kecewa. Faktor didikan keluarga yang taat beragama, keduanya saling mengingatkan. Danisha maupun Farhan  saling menguatkan untuk selalu berhusnudzan pada rencana Tuhan.
Bagi jiwa yang ikhlas kebahagiaan itu indah, bagi jiwa yang sabar kebahagiaan itu semakin indah, semoga kita adalah orang-orang yang sabar dan ikhlas menjalani ini semua, semoga indahnya kebahagiaan itu dihadiahkan untuk kita, seperti rindunya Adam, seindah pertemuannya dengan Hawa, kalimat penguat hati keduanya. Mereka akan saling berkirim pesan singkat dengan kalimat-kalimat itu. Sebagai penawar kekecewaan mereka tiap kali gagal bertemu.
Pak Hadi pun heran. Puluhan tanda tanya berlompatan di benaknya, apa yang salah dengan perjodohan ini. Di balik kaca matanya ia melihat betapa cocoknya kedua anak itu, baik dari rupa maupun perilaku. Laki-lakinya tampan, perempuannya tak kalah manis rupawan. Laki-lakinya shaleh, perempuannya pun ramah dan santun. Kombinasi yang pas bila disatukan. Bapak paruh baya itu pun menaruh iba pada anak dan calon mantunya. Apalagi jika mendengar putra semata wayangnya mencurahkan kegalauan hatinya tentang Danisha. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Semua terjadi pasti ada pengaturnya.
“Baguslah bagi kalian. Kalian sama-sama alim. Barangkali inilah cara Tuhan memelihara kalian. Jadi, baik Kamu maupun dia sama-sama mendapati diri kalian bersih satu sama lain. Sama-sama belum terjamah, bersentuhan yang bukan muhrim itu haram. Kamu tahu itu bukan?” Nasehat Pak Hadi, jika dilihatnya Farhan mulai bermenung murung di depan televisi. Farhan yang letih dengan aktivitas kantornya di siang hari, terpaksa sabar menahan diri.
Sungguh di luar logika, jarak rumah yang begitu dekat tak bisa diadakan pertemuan. Jangankan sejam sedetik pun tidak. Danisha pun kadang patah arang. Bahkan ingin menyerah pada sikap lemah Farhan yang pasrah saja pada keadaan. Pada suatu kesempatan, Farhan pernah berjanji akan mengunjungi Danisha ke rumahnya bersama keluarganya, sekaligus silaturahim dua keluarga besar. Ia telah memberitahukan perihal kedatangan Farhan kepada kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya pun menanggapi dengan baik. Bagi mereka apapun pilihan anaknya, asal jelas dan dijalani sesuai aturannya sah-sah saja, toh jodoh sudah ada yang mengaturnya. Danisha takkan lupa kejadian waktu itu. Kejadian yang mengawali semua kejadian ganjil berikutnya.
Danisha telah mempersiapkan segalanya. Rumah yang biasanya dibersihkan sekenanya. Karena ada kabar Farhan akan datang, berhasil disulap Danisha tiga kali lipat lebih cling dan wangi tak lebih dari satu hari. Seperti iklan pembasmi kuman di televisi. Masakan spesial pun telah disajikan. Tanpa bantuan siapa pun Danisha melakukan semuanya dengan penuh perasaan. Harap-harap cemas Danisha menanti kedatangan Farhan. Antara optimis dan pesimis, melihat dari kejadian yang sudah-sudah. Rencana yang telah diatur sempurna berbuah gagal dan kecewa. Danisha trauma. Dalam pikirannya ia mereka-reka. Alasan apalagi yang akan didengarnya dari Farhan.
Seharian hatinya dibaluti puluhan perban rasa gelisah. Yang dinantikan tak kunjung datang. Tak satu pun kabar berita mampir di layar ponselnya. Berkali-kali dicobanya menghubungi Farhan. Nihil. Nomor yang dituju sedang tidak aktif. Risau hatinya makin melonjak-lonjak. Hingga maghrib, sebaris pesan singkat muncul di layar ponselnya,
“Sayang maafin Bang ya baru balas, bukan Bang ingkar janji semalam kakak ayah meninggal di rumah sakit.”
Danisha diam terpaku. Tak henti ia mengucap dalam hati. Kenapa ini. Ada apa ini. Pikirannya kacau. Benarkah alasan ini. Hatinya sangsi. Terlintas klise-klise tak beraturan di memorinya, kisah-kisah yang diputar Pak Hadi seputar anaknya. Cerita tentang banyaknya gadis yang tergila-gila pada Farhan. Sejarah gadis cantik yang memohon-mohon minta balikan setelah diputuskan Farhan. Hatinya mendua, mentiga, terpecah-pecah. Adakah Farhan sungguh-sungguh ingin menjalin hubungan ini dengannya. Ia mengira-ngira, bisa saja Farhan berpaling hatinya, kembali memaafkan mantan kekasihnya, dan pergi meninggalkan dia. Bisa saja semua alasan ini hanya jadi tirai penutup gambaran isi hatinya yang sebenarnya bukan untuk dia. Danisha terserang kalut tingkat akut.
***
Malam itu, dalam ruang yang masih dinaungi cahaya terang. Danisha masih menanti. Lima lembar halaman Al Qur’an berikut terjemahan telah dibacanya. Kata kakeknya, jika hati sedang rusuh ambillah wudu, baca Al Qur’an serta terjemahannya. Berdoalah pada Tuhan, minta dilapangkan segala kesusahan. Meski kakek telah lama tiada, nasehat-nasehatnya akan tetap ada dalam ingatan Danisha. Maka dipraktekkannyalah nasehat itu. Dan ajaib! Ia tersenyum pada dirinya sendiri. Dan berkata lirih, tenang Danisha! Rencana Allah itu indah. Kalau memang dia terlahir adalah untukmu, takkan ada alasan lagi yang menghalangi untuk bertemu. Allah pasti telah menyiapkan sebuah kejutan paling indah untukmu. Yakin dan sabarlah menunggu hari itu. Ditahannya hasrat untuk menjatuhkan air mata. Namun, kelopak matanya tak mampu membendung.
Malam makin larut. Hawanya semakin dingin menusuk. Dipaksanya saja untuk tidur. Danisha merapikan susunan bantal. Ia biasa  menumpuk dua bantal tipis jadi satu sebagai alas kepala. Ia merasa nyaman dengan posisi seperti itu. Sebelum benar-benar terpejam, ia masih menerawang. Puluhan  kalimat menggantung di langit-langit pikirannya. Seandainya ia memiliki keberanian untuk keluar malam itu. Ia akan lari dengan sepeda gunungnya ke rumah Farhan. Menemui Farhan untuk memberikan ucapan perpisahan secara langsung. Bahkan, menantang Farhan untuk membuktikan rasa sayangnya untuk membatalkan kepindahan. Akh! Tapi ini bukan drama Korea. Ia masih sadar akan norma dan etika. Danisha hanya bisa berandai-andai. Andai tadi pagi ia tidak ujian, pastilah tadi bingkisan cokelat di atas meja itu berada di atas meja Farhan. Andai tadi sore Farhan tidak dipanggil atasannya ke kantor, pastilah ia tak serisau ini.
Farhan telah meneleponnya kemarin sore. Memberitahukan bahwa ia mendadak dimutasikan ke luar Sumatra. Danisha terperangah, Farhan pun tak kuasa menolak. Perubahan ini diputuskan secara tiba-tiba. Tapi sebelum berangkat, Farhan ingin bertemu dulu dengan Danisha. Mustahil tak bisa dilakukan pertemuan. Keduanya sama-sama berdomisili di satu kota yang sama. Entahlah. Dua kesempatan telah terlewatkan sepanjang hari tadi. Malam itu Farhan berjanji akan menelepon, tapi hanya sebaris pesan singkat yang mampu dikirimnya. Masih banyak berkas yang belum selesai dirampungkannya di kantor. Besok jam dua siang ia akan terbang ke pulau seberang. Sedikit pesimis, ia berjanji akan menemui Danisha jam sebelas pagi di warung ayahnya. Danisha tersedu pasrah. Perlahan dipejamkannya juga mata.
Sampai pagi, tak sepotong video pun mimpi indah melintas di memorinya. Ia tak bermimpi apa-apa. Kumandang adzan subuh, menuntunnya bangun. Sedikit berat ia memaksa kedua kelopak matanya terbuka. Menuruni ranjang, menyeret langkahnya mencari pintu ke luar. Meraih kamar mandi yang terletak di luar kamar. Meraba-raba, ia berjalan melewati ruang tengah dan meja makan. Di depan kamar mandi ia termenung, langkahnya terhenti. Dengungan deru pesawat begitu nyaring melintas di atas atap. Deg! Badannya menegang kaku. Puluhan palu memukul-mukul dinding jantungnya. Pikirannya kacau. Tak mampu memikirkan apa-apa. Dia terus berharap Farhan masih tertidur pulas di kamarnya. Ia berjuang menghalau galau yang merisau.
***
Dalam kelas tak ada Danisha. Raganya saja yang duduk manis memainkan lembar demi lembar buku catatan. Jiwa dan hatinya mengambang di udara, mencari-cari Farhan yang belum pernah dijumpainya. Wajah Farhan yang selalu diam tak berkata-kata, tak pernah senyum padanya, hanya memandangnya saja di selembar foto ukuran empat R. Selembar yang dicetaknya sendiri, disalin dari sebuah foto profil situs jejaring pertemanan.
Danisha lega, jam kuliah pagi itu usai. Meski tak merasa lapar, walau tadi tidak  sempat sarapan. Sebelum pulang ia mampir ke warung Pak Hadi. Lokasinya tak jauh dari kampus, di pinggir jalan menuju gang besar ke luar gerbang utama kampus. Ia sengaja datang ke sana. Sesuai dengan pesan yang dikirim Farhan semalam. Ia akan menemui Danisha di sana. Pak Hadi tak berkomentar apa-apa, hanya sedikit basa-basi. Ada gurat sedih di matanya, tak tega ia melihat rupa Danisha. Calon menantu kesayangannya. Sambil menunggu, Danisha menawarkan lambung kecilnya dengan sepiring nasi goreng spesial buatan calon ayah mertua. Tak berselera ia makan sesuap demi suap. Diam-diam Pak Hadi memperhatikannya. Sesekali diajaknya Danisha bercanda. Danisha mencoba tersenyum, getir hatinya menanti. Si Farhan tak bisa dihubungi. Danisha menyudahi makanannya. Seolah paham, Pak Hadi menghampiri.
“Bapak. Sebenarnya Bang Farhan serius nggak sih sama Danisha. Masa iya, orang setampan dan sebaik dia mau sama mahasiswi kayak Danisha?” Danisha tak tahan ingin melontarkan pertanyaan yang telah lama dipendamnya.
“Danisha, Farhan itu orangnya lurus. Kalau satu katanya ya satu. Orangnya sungguh-sungguh,”
“Tapi, kenapa dia tidak pernah sekali pun memberanikan diri menunjukkan keseriusannya sama Danisha,” Danisha tersulut emosi. “Selalu saja Bapak yang menjadi juru bicara, seakan-akan hanya Bapak yang bersikeras menginginkan perjodohan ini. Lagipula, mustahil tak satu pun gadis cantik di sana yang menarik hatinya.”
“Itulah Si Farhan, Kamu harus bisa menerima keadaannya yang seperti itu. Tak pernah Bapak lihat ia begitu semangat tiap kali berbicara tentang Kamu,” Pak Hadi membela diri. “Percayalah Nak, Farhan itu tidak akan main-main.” Danisha terdiam.
“Danisha, tadi Farhan lapor ke Bapak. Katanya akan menemui Kamu di sini,” Pak Hadi tak melanjutkan kalimatnya. Ia menarik napas. Danisha hanya diam, menunggu sambungan kata-kata beliau.
“Tadi Farhan pesan, tolong sampaikan maafnya sama Danisha. Dia pusing tuh sekarang, semalam atasannya nelpon nyuruh dia berangkat pagi ini juga. Subuh-subuh dia langsung pergi. Menangis dia cerita pada Bapak, kenapa ada saja hambatannya buat ketemu,”
Danisha bisu. Matanya berkaca-kaca. Dipaksanya supaya tidak menjatuhkan air mata di hadapan Pak Hadi.
“Jangan menangis ndak Nak. Kalau jodoh pasti bertemu. Do’akan saja Farhan selamat di rantau orang.”  Pak Hadi tak mau lagi melanjutkan kata-kata. Dibiarkannya saja Danisha pergi meninggalkan warung. ***Padang, Oktober 2012.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar