Kemelud Jodoh dari Tek
Midar
Cerpen: Bee Joeytha
Ini seperti racikan
sebuah resep masakan. Perpaduan aneka temuan rempah-rempah dedaunan. Rumit dan
kompleks untuk mencampurkan sebuah kelezatan dalam satu kecapan. Ya, tak satu
pun yang bisa menginspirasiku saat ini. Aku kehilangan, bagai orang sakaw yang tidak mendapat putaw. Aku tak punya motivasi. Melihat sebuah
belanga kosong di atas tungku berabu legam arang, itulah aku saat ini.
Dicitrakan kesepian menanti sekumpulan bumbu masakan, apakah itu gulai atau
rendang, selalu siap untuk menerima dan dipanggang kayu bakar.
“Lia, sudahkah kau
temui Mintuomu di beranda?” Tek Midar,
adik bungsu Ummi menyapaku yang tengah sibuk berasap di dapur.
“Belum Tek, nanti
setelah tumisan ini masak,” aku menoleh untuk tidak menghilangkan rasa hormatku
padanya. Sebenarnya, aku enggan sekali
menjawab teguran itu.
Di Minang, khususnya di
daerah tempat tinggalku ini, semenjak awal tahun 2004 diresmikan sebagai daerah
pamekaran kabupaten menjadi Dharmasraya. Selaku penduduk asli, kepatuhannya
terhadap sendi-sendi adat masih terasa kental meski telah berbaur dengan para
pendatang, khususnya penduduk transmigran dari Jawa. Hal inilah yang membuatku
selalu enggan terlibat dalam berbagai pertemuan dan diskusi keluarga, apalagi
acara-acara yang diadakan oleh keluarga besarku. Terlebih lagi dari pihak
keluarga Ummiku. Inti acara selalu saja membahas satu permasalahan. Dengan
dalih untuk menyelamatkan harta pusako keluarga besar, anak kemenakan
dijodohkan. Hal yang paling ingin kuhindari dan paling kusesali mengapa
terlahir sebagai perempuan di keluarga ini.
“Tumis apa yang sedap
ini aromanya Lia?” aku tersentak dari lamunanku, wanita usia empat puluhan yang
kupanggil Mintuo itu telah berdiri
tepat di sampingku. Namanya Eti, lengkapnya aku kurang ingat. Ia merupakan
sosok yang paling kukagumi sekaligus ingin kuhindari di seantero Dharmasraya
ini. Ia adalah istri dari Makdang -mamak
besar kami- kakak laki-laki dari Ummi. Nenek mengajarkan untuk memanggilnya
dengan sebutan Mintuo, karena
jabatannya sebagai istri Makdang sekaligus
calon mertua kami. Iya, salah satu dari kami cucunya yang perempuan, yang
terlahir dari putri-putrinya diharuskan menikah dengan anak pria dari anak
laki-lakinya. Supaya harta pusako
tapaliharo, tidak lepas ke tangan orang lain. Sangat berlawanan denganku.
“Oh-eh, Mintuo.
Oseng-oseng jangek kulit sapi. Mencoba
resep dari blog teman, dari internet,” aku gugup.
“Gadih Minang saleronyo
Jawa, cubo cicip!” Mintuo merebut sendok yang ada di
tanganku, menciduknya ke dalam panci. “Uhm... Lamak! Bumbunya pas. Yo canggih kini, bisa belajar masak bagai di internet. Minta mintuo resepnya.”
“Nanti Lia printkan untuk Mintuo,” begitulah Mintuo
Eti, setiap kali datang ke rumah ketika aku juga ada di rumah saat libur
kuliah. Beliau paling pintar menghangatkan hati orang lain, pantas Makdangku sangat sayang padanya.
Mintuo Eti tidak begitu
cantik, tapi memiliki mata teduh seteduh mata Ummi. Ramah dan penuh kasih
sayang. Ia berprofesi sebagai guru di sebuah taman kanak-kanak. Aku masih
ingat, waktu masih TK dua belas tahun yang lalu, ketika beliau masih gadis
sebelum takdir mempertemukan dan menjodohkannya dengan Makdang. Beliau begitu menginspirasiku dalam setiap rekahan
senyuman dan suaranya yang kurang merdu.
“Ayo Nak! Warna itu
cantik sekali!”
“Gambal ini untuk Ibu guyu
sajah!”
“Kenapa untuk bu guru?
Kasih lihat sama Ummi di rumah ya!”
“Tidak. Ummi tidak mau
melihat gambal Iya.”
“Kenapa begitu?”
“Ummi tidak mau tinggal
sama Iya. Ummi tinggalin Iya sendili di
humah Enek. Ummi tidak sayang sama Iya,
Ummi cuman bawa Dedek tidak bawa Iya.”
“Memangnya Ummi Iya pergi
kemana?”
“Ikut Abbi kelja. Jauh sekali, Iya pelnah sekali ke sana.”
“Oh, begitu. Ummi juga
sayang sama Iya, tapi Ummi tidak bisa bawa Iya, karena Iya harus sekolah biar
pintar.”
“Enek juga bilang begitu ke Iya.”
“Anak pintar harus
nurut, rajin sekolah biar pintar. Nanti kalau sudah besar bisa ikut Ummi dan Abbi.
Jadi gambarnya kasih ke Nenek aja.”
“Untuk Bu guyu ajah. Iya punya banyak gambal di humah buat Enek.”
“Aduhh, senangnya. Ibu dapat
gambar paling bagus hari ini, terima kasih.... untuk lomba besok harus lebih
bagus lagi dari ini ya, biar jadi juara. Nanti, kalau Ummi pulang kasih lihat
ke Ummi. Ummi pasti bangga sama Lia.” Bu guru Eti menemaniku mewarnai.
Murid-murid lainnya sudah pulang semua, kecuali aku. Aku masih menunggu
jemputan pulang. Usiaku saat itu baru lima tahun. Biasanya yang menjemputku
adalah Tek Midar atau Makdangku. Makdang biasanya akan mampir ke sekolah
selepas pulang dari kebun karetnya. Karena jalan menuju ke kebun melewati
halaman depan sekolah. Makdang hanya
tamatan SMP, selepas itu melewati masa bujangnya hanya ke ladang dan menyadap
karet di kebun. Beda dengan Abbiku yang suka merantau. Tapi, sejak aku protes
dengan aroma karet yang begitu kuat melekat di tubuhnya, Tek Midar yang
menggantikan. Sejak Tek Midar rajin datang ke sekolah, ia menjadi akrab dengan Bu
Eti. Atas inisiatif dan usahanya lah sekarang Bu Eti menjadi Mintuo Etiku.
Memang dari dulu Tek Midar tukang comblang.
***
Satu minggu lebih aku
di rumah. Liburan kali ini kuhabiskan hanya bersama keluarga di rumah saja.
Menyalurkan bakat terpendam yang baru kutemukan selama kuliah. Memasak. Dulu
aku paling tidak suka memasak. Aku sangat benci asap dapur, tapi nomor satu
kalau soal makan. Kondisinya terbalik sekarang, tiada hari tanpa berburu dan mempraktekkan
resep baru. Aku tidak akan merasa puas sebelum masakan buatanku ludes dimakan
orang lain. Walau kadang mereka bohong terpaksa berkata enak, yang penting
habis tak bersisa. Aku senang.
“Bagaimana menurut Uni,
sambil kuliah dinikahkan saja Lia sama Hafiz? Daripada lama-lama nanti disembar
orang,” tanpa sengaja kudengar Tek Midar mendesak Ummiku di ruang tengah.
“Hush! Memangnya ayam
disembar-sembar. Kalau jodoh ndak
kemana doh, biarlah Lia yang pilih
jodohnya sendiri. Jaman kita tidak sama dengan anak sekarang,”
“Oleh sebab itulah Uni,
kita tidak boleh lepas tangan. Semakin canggih semakin berbahaya pergaulan anak
muda kini. Coba pikir sama Uni, lewat pesbuk bisa pulo dapek laki. Seminggu setelah menikah manjando.”
“Lia itu kan sudah
besar. Dia sudah diajar untuk mengerti mana yang baik dan mana yang benar. Kita
hanya mengarahkan dan melihat-melihat saja apa yang dia lakukan. Kalau salah ya
kita tegur kesilapannya.” Ummiku memang paling bijaksana.
Aku menguping di balik
lemari kayu yang membatasi ruang tengah dengan ruang makan. Rumahku tidaklah
besar. Rumah sederhana model letter
L, desain rumah orang kebanyakan di sini. Tapi, rumah kami ini sedikit berbeda
dari yang lain. Ummiku sendiri yang merancangnya. Satu atap dibagi dalam enam
kotak persegi di bagian depan dan berbentuk balok di belakang. Rumah kami
menghadap ke selatan, dua kamar di sebelah barat, satu kamar lagi di timur berbatas dinding dengan ruang keluarga,
tempat kami sekeluarga biasa menghabiskan waktu santai menonton bersama, dan di
tengah bagian depan ruang tamu dibatasi dengan sebuah lemari kayu besar adalah
ruang makan, tempat di mana aku berdiri mendengarkan pembicaraan Tek Midar
dengan Ummiku.
“Tapi itu kan sudah
jadi tradisi keluarga kita Uni, yang menjaga harta itu bundo kanduang. Bundo
kanduang kita seterusnya, ya anak-anak gadis kita.” Tek Midar tak gentar
menggoyahkan pendapat Ummiku.
“Ada apa ini, tegang
sekali tampaknya,” Mintuo Eti tiba-tiba masuk dari pintu depan. Aku pikir
beliau sudah pulang.
“Ah, Uni belum pulang?”
Tek Midar berbasa-basi.
“Mana Lia? Tadi inyo janji memprintkan resep masakan.”
“Ada Mintuo, ini dia.”
Aku bergegas menuju ke ruang tengah membawa selembar kertas. Aku lihat Tek Midar
melirikku dan Mintuo Eti bergantian sembari tersenyum.
“Yo lah, mintuo samo
menantu rukunnyo lai, seiya sekata....” aku langsung melotot ke arah Tek Midar.
Aku tidak suka dengan kalimat yang dilontarkannya itu. Tidak untuk saat ini.
Padahal biasanya, tidak hanya Tek Midar yang mencandaiku seperti itu. Tapi kali
ini aku tidak suka.
“Masakan Jawa yang
dimasaknya tadi Uni?” Ummiku menyikut lengan Tek Midar, beliau tahu ekspresi
wajah penolakanku.
“Iya, pernah dulu
makannya di tempat Pak Sukija, waktu pesta pernikahan anaknya. Tapi buatan Lia
lebih enak,”
“Kan bisa tuh. Masak
untuk pesta sendiri,” Tek Midar ini...
“Siapa pula mau bikin
pesta kata Tek Midar ini,” aku melawan.
“Eh ada yang marah,”
Tek Midar menutup mulutnya dengan tiga jari tangan, aku benci gaya leluconnya
itu.
“Tek Midar asal kamangecek jo mah, asal omong aja
mulutnya.”
“Eh, ini hasil didikan Ummi
itu! Tidak sopan sama orang tua,”
“Lia....” Ummi
menegurku.
“Maaf Ummi, tapi Etek
Midar sudah keterlaluan merasuki Ummi. Mendesak-desak Ummi untuk menjodohkan Iya
dengan Hafiz. Hafiz itu bukan jodoh yang tepat bagi Iya, Hafiz itu adik Iya,
dia tidak cocok jadi kepala di keluarga Iya nanti. Coba pikir sama Etek, masa
laki-laki tujuh tahun lebih muda dari Iya jadi pemimpin di keluarga Iya.” Aku
membela diri.
Bagaimana mungkin aku
dijodohkan dengan anak sulung Mintuo Eti yang jelas usianya lebih muda dariku.
Memang dia sudah bekerja. Untuk ukuran anak bujang yang besar di kampung, Hafiz
sudah bisa dibilang mapan. Meskipun, mungkin saja jika aku menikah dengannya,
tapi aku juga punya pilihan. Aku tidak akan cocok bila dipasangkan dengannya.
Kami tidak hanya berbeda usia, juga berbeda pandangan hidup. Ia lebih memilih
bekerja dan berhenti sekolah, padahal Makdang
dan Mintuoku mampu menyekolahkannya
kemana ia ingin sekolah. Dalam hal pelajaran ia bukanlah anak yang pandai, oleh
sebab itulah ia lebih suka menghabiskan waktunya ke ladang, memotong atau
menyadap karet seperti Makdang.
Seminggu ia bisa mengantongi uang sekitar dua jutaan rupiah. Gajinya sebulan
melebihi seorang pegawai negeri. Makanya, ia lebih memilih berladang di kampung
menggunungkan rezeki daripada sekolah menghabiskan uang.
“Eh, Nabi Muhammad jo jauh keteknyo dari Khadijah, apa yang tidak mungkin. Ooo, sudah terikat
janji untuk sehidup semati pula sama anak lelek Jawa Sitiung itu. Itu sebabnya
bersikeras menentang pilihan etek?”
“Dia bukan lelek,
ibunya asli Minang, bapaknya juga anak gadis Minang, lahir dan besar juga di
Minang. Ummi saja yang ibu kandung Iya, tidak pernah memaksa-maksa Iya. Atau
nikah saja sama Etek!” Aku lepas kendali. Tek Midar sungguh di luar batas,
sampai-sampai teman lelakiku, Agus yang anak Jawa Minang Sitiungsatu itu
dibawa-bawanya. Hubunganku dengan Agus memang lumayan dekat. Bagaimana tidak
dekat, kami telah berteman sejak kelas satu SMA, dan kami selalu sekelas sampai
tamat sekolah. Hingga saat ini, pertemanan kami pun tidak terputus meski ia
memilih kuliah ke kampung kakeknya di Semarang.
“Lia!” Ummi terpekik.
“Kurang ajar! Lihat Uni,
hasil kuliah tinggi-tinggi. Tinggi pula suaranya dari awak lai,”
Brakk!
Aku tutup pintu kamar
keras-keras. Aku tidak sabar lagi. Berdebat dengan Tek Midar sama saja
berkelahi dengan orang paling idiot sedunia. Aduh, terserah aku ini dibilang
anak durhaka. Aku tidak peduli. Di sekolah aku diajarkan tentang hak dan
kewajiban. Aku rasa kewajibanku sebagai anak terhadap Abbi dan Ummi telah
kujalani, sekarang hakku yang kuperjuangkan. Tek Midar hanya adik kandung Ummi,
dia tidak berhak mengatur-atur hidupku. Apalagi menetapkan siapa jodohku.
Biarlah itu menjadi urusan Tuhanku saja. Mengatur diri sendiri saja belum
becus. Seharusnya dia yang perlu dicarikan jodoh. Sudah memasuki kepala tiga
belum juga bersuami. Barangkali, karena perangainya yang seperti itu dia sulit
menemukan pasangan yang tepat. Semestinya, aku yang mencarikan jodoh untuk Tek
Midar. Mencomblangi orang tapi diri sendiri belum berjodoh juga. Astaghfirullahaal ‘azhiim, amarah
mengapa begini.
Padahal, saat aku kecil
dalam perawatan Tek Midar. Beliau adalah super heroku. Kemana pun aku pasti
dibawanya, seperti anaknya sendiri. Tek Midar beda lima tahun dari Ummi.
Berperawakan kecil, tapi sangat enerjik. Sejak belia rajin membantu nenek.
Semua pekerjaan rumah selesai olehnya. Tek Midar sama seperti Makdang, mengecap
pendidikan tertinggi hanya sebatas bangku menengah pertama. Ummi juga sama, aku
yang beruntung bisa menikmati lebih dari yang pernah mereka miliki. Setiap hari
rumah nenek dikelilingi kupu-kupu cantik, karena Tek Midar pintar menanam
bunga. Kakek tidak perlu mencari bambu untuk memagar halaman, cukup aneka bunga
warna-warni menghiasi. Aku paling suka menemani Etek ke kantor wali nagari.
Tiap sabtu sore ada kegiatan PKK di sana. Setiap selesai mengikuti pelatihan,
Tek Midar pasti akan mempraktekkan resep baru, dan aku selalu yang pertama
mencicipi.
Tek Midar sungguh
wanita lajang yang sempurna di balik ketiadaannya, menurutku. Tapi sayang,
jodohnya belum juga menampakkan diri. Aku tidak tahu persis bagaimana kisah
pribadinya. Yang aku tahu ia selalu riang dan semangat. Kata Ummi, Tek Midar
patah hati. Dikecewakan kekasihnya yang berjanji akan menikahi, tetapi tidak
pernah ada kabar setelah merantau ke negeri jiran. Sekalinya kembali ternyata
menggandeng seorang istri. Etek kecewa, setelah sebelumnya menolak perjodohan
dari nenek dengan anak Makdangnya, karena yakin sang kekasih akan pulang
menepati janji. Tek Midar menyesal, ingin menerima tawaran nenek, semua sudah
terlambat. Anak Makdangnya hanya satu itu yang lelaki, karena ditolak memilih
menikah dengan gadis lain. Sungguh kasihan Etekku
itu.
“Pulanglah kau dulu
Midar.” Kudengar Mintuo Eti berkata pelan.
“Kan batuah anjuran awak tu ndak Uni,”
“Jaman sudah berubah,
adat ya tetap adat tapi tidak selamanya adat itu bisa dipakai. Sesuaikan pula
dengan keadaan yang ada saat ini. Dia sekarang hidup di jamannya pula, kita
apalah....” aku sedikit lega mendengar ucapan Mintuo Eti yang begitu bijaksana
dan pro padaku ini.
“Sudahlah Midar.
Biarlah dia serius menamatkan kuliahnya dulu, urusan jodoh, rezeki itu sudah
ada yang mengatur. Harta pusako kita itu ya keberhasilan anak cucu kita, bukan
sawah ladang yang harganya tak seberapa....” Ummiku menambahkan tak kalah
bijaknya.
Aku dengar seret
langkah kaki tergesa-gesa menjauh ke pintu luar, beserta dumelan tak jelas.
Jelas itu milik Tek Midar. *** Dharmasraya, Januari 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar