Kamis, 25 Juli 2013

Kemelud Jodoh dari Tek Midar


Kemelud Jodoh dari Tek Midar
Cerpen: Bee Joeytha


Ini seperti racikan sebuah resep masakan. Perpaduan aneka temuan rempah-rempah dedaunan. Rumit dan kompleks untuk mencampurkan sebuah kelezatan dalam satu kecapan. Ya, tak satu pun yang bisa menginspirasiku saat ini. Aku kehilangan, bagai orang sakaw yang tidak mendapat putaw. Aku tak punya motivasi. Melihat sebuah belanga kosong di atas tungku berabu legam arang, itulah aku saat ini. Dicitrakan kesepian menanti sekumpulan bumbu masakan, apakah itu gulai atau rendang, selalu siap untuk menerima dan dipanggang kayu bakar.
“Lia, sudahkah kau temui Mintuomu di beranda?” Tek Midar, adik bungsu Ummi menyapaku yang tengah sibuk berasap di dapur.
“Belum Tek, nanti setelah tumisan ini masak,” aku menoleh untuk tidak menghilangkan rasa hormatku padanya.  Sebenarnya, aku enggan sekali menjawab teguran itu.
Di Minang, khususnya di daerah tempat tinggalku ini, semenjak awal tahun 2004 diresmikan sebagai daerah pamekaran kabupaten menjadi Dharmasraya. Selaku penduduk asli, kepatuhannya terhadap sendi-sendi adat masih terasa kental meski telah berbaur dengan para pendatang, khususnya penduduk transmigran dari Jawa. Hal inilah yang membuatku selalu enggan terlibat dalam berbagai pertemuan dan diskusi keluarga, apalagi acara-acara yang diadakan oleh keluarga besarku. Terlebih lagi dari pihak keluarga Ummiku. Inti acara selalu saja membahas satu permasalahan. Dengan dalih untuk menyelamatkan harta pusako keluarga besar, anak kemenakan dijodohkan. Hal yang paling ingin kuhindari dan paling kusesali mengapa terlahir sebagai perempuan di keluarga ini.
“Tumis apa yang sedap ini aromanya Lia?” aku tersentak dari lamunanku, wanita usia empat puluhan yang kupanggil Mintuo itu telah berdiri tepat di sampingku. Namanya Eti, lengkapnya aku kurang ingat. Ia merupakan sosok yang paling kukagumi sekaligus ingin kuhindari di seantero Dharmasraya ini. Ia adalah istri dari Makdang -mamak besar kami- kakak laki-laki dari Ummi. Nenek mengajarkan untuk memanggilnya dengan sebutan Mintuo, karena jabatannya sebagai istri Makdang sekaligus calon mertua kami. Iya, salah satu dari kami cucunya yang perempuan, yang terlahir dari putri-putrinya diharuskan menikah dengan anak pria dari anak laki-lakinya. Supaya harta pusako tapaliharo, tidak lepas ke tangan orang lain. Sangat berlawanan denganku.
“Oh-eh, Mintuo. Oseng-oseng jangek kulit sapi. Mencoba resep dari blog teman, dari internet,” aku gugup.
Gadih Minang saleronyo Jawa, cubo cicip!” Mintuo merebut sendok yang ada di tanganku, menciduknya ke dalam panci. “Uhm... Lamak! Bumbunya pas. Yo canggih kini, bisa belajar masak bagai di internet. Minta mintuo resepnya.”
“Nanti Lia printkan untuk Mintuo,” begitulah Mintuo Eti, setiap kali datang ke rumah ketika aku juga ada di rumah saat libur kuliah. Beliau paling pintar menghangatkan hati orang lain, pantas Makdangku sangat sayang padanya.
Mintuo Eti tidak begitu cantik, tapi memiliki mata teduh seteduh mata Ummi. Ramah dan penuh kasih sayang. Ia berprofesi sebagai guru di sebuah taman kanak-kanak. Aku masih ingat, waktu masih TK dua belas tahun yang lalu, ketika beliau masih gadis sebelum takdir mempertemukan dan menjodohkannya dengan Makdang. Beliau begitu menginspirasiku dalam setiap rekahan senyuman dan suaranya yang kurang merdu.
“Ayo Nak! Warna itu cantik sekali!”  
Gambal ini untuk Ibu guyu sajah!”
“Kenapa untuk bu guru? Kasih lihat sama Ummi di rumah ya!”
“Tidak. Ummi tidak mau melihat gambal Iya.”
“Kenapa begitu?”
“Ummi tidak mau tinggal sama Iya. Ummi tinggalin Iya sendili di humah Enek. Ummi tidak sayang sama Iya, Ummi cuman bawa Dedek tidak bawa Iya.”
“Memangnya Ummi Iya pergi kemana?”
“Ikut Abbi kelja. Jauh sekali, Iya pelnah sekali ke sana.”
“Oh, begitu. Ummi juga sayang sama Iya, tapi Ummi tidak bisa bawa Iya, karena Iya harus sekolah biar pintar.”
Enek juga bilang begitu ke Iya.”
“Anak pintar harus nurut, rajin sekolah biar pintar. Nanti kalau sudah besar bisa ikut Ummi dan Abbi. Jadi gambarnya kasih ke Nenek aja.”
“Untuk Bu guyu ajah. Iya punya banyak gambal di humah buat Enek.”
“Aduhh, senangnya. Ibu dapat gambar paling bagus hari ini, terima kasih.... untuk lomba besok harus lebih bagus lagi dari ini ya, biar jadi juara. Nanti, kalau Ummi pulang kasih lihat ke Ummi. Ummi pasti bangga sama Lia.” Bu guru Eti menemaniku mewarnai. Murid-murid lainnya sudah pulang semua, kecuali aku. Aku masih menunggu jemputan pulang. Usiaku saat itu baru lima tahun. Biasanya yang menjemputku adalah Tek Midar atau Makdangku. Makdang biasanya akan mampir ke sekolah selepas pulang dari kebun karetnya. Karena jalan menuju ke kebun melewati halaman depan sekolah. Makdang hanya tamatan SMP, selepas itu melewati masa bujangnya hanya ke ladang dan menyadap karet di kebun. Beda dengan Abbiku yang suka merantau. Tapi, sejak aku protes dengan aroma karet yang begitu kuat melekat di tubuhnya, Tek Midar yang menggantikan. Sejak Tek Midar rajin datang ke sekolah, ia menjadi akrab dengan Bu Eti. Atas inisiatif dan usahanya lah sekarang Bu Eti menjadi Mintuo Etiku. Memang dari dulu Tek Midar tukang comblang.
***
Satu minggu lebih aku di rumah. Liburan kali ini kuhabiskan hanya bersama keluarga di rumah saja. Menyalurkan bakat terpendam yang baru kutemukan selama kuliah. Memasak. Dulu aku paling tidak suka memasak. Aku sangat benci asap dapur, tapi nomor satu kalau soal makan. Kondisinya terbalik sekarang, tiada hari tanpa berburu dan mempraktekkan resep baru. Aku tidak akan merasa puas sebelum masakan buatanku ludes dimakan orang lain. Walau kadang mereka bohong terpaksa berkata enak, yang penting habis tak bersisa. Aku senang.
“Bagaimana menurut Uni, sambil kuliah dinikahkan saja Lia sama Hafiz? Daripada lama-lama nanti disembar orang,” tanpa sengaja kudengar Tek Midar mendesak Ummiku di ruang tengah.
“Hush! Memangnya ayam disembar-sembar. Kalau jodoh ndak kemana doh, biarlah Lia yang pilih jodohnya sendiri. Jaman kita tidak sama dengan anak sekarang,”
“Oleh sebab itulah Uni, kita tidak boleh lepas tangan. Semakin canggih semakin berbahaya pergaulan anak muda kini. Coba pikir sama Uni, lewat pesbuk bisa pulo dapek laki. Seminggu setelah menikah manjando.”
“Lia itu kan sudah besar. Dia sudah diajar untuk mengerti mana yang baik dan mana yang benar. Kita hanya mengarahkan dan melihat-melihat saja apa yang dia lakukan. Kalau salah ya kita tegur kesilapannya.” Ummiku memang paling bijaksana.
Aku menguping di balik lemari kayu yang membatasi ruang tengah dengan ruang makan. Rumahku tidaklah besar. Rumah sederhana model letter L, desain rumah orang kebanyakan di sini. Tapi, rumah kami ini sedikit berbeda dari yang lain. Ummiku sendiri yang merancangnya. Satu atap dibagi dalam enam kotak persegi di bagian depan dan berbentuk balok di belakang. Rumah kami menghadap ke selatan, dua kamar di sebelah barat, satu kamar lagi di timur  berbatas dinding dengan ruang keluarga, tempat kami sekeluarga biasa menghabiskan waktu santai menonton bersama, dan di tengah bagian depan ruang tamu dibatasi dengan sebuah lemari kayu besar adalah ruang makan, tempat di mana aku berdiri mendengarkan pembicaraan Tek Midar dengan Ummiku.
“Tapi itu kan sudah jadi tradisi keluarga kita Uni, yang menjaga harta itu bundo kanduang. Bundo kanduang kita seterusnya, ya anak-anak gadis kita.” Tek Midar tak gentar menggoyahkan pendapat Ummiku.
“Ada apa ini, tegang sekali tampaknya,” Mintuo Eti tiba-tiba masuk dari pintu depan. Aku pikir beliau sudah pulang.
“Ah, Uni belum pulang?” Tek Midar berbasa-basi.
“Mana Lia? Tadi inyo janji memprintkan resep masakan.”
“Ada Mintuo, ini dia.” Aku bergegas menuju ke ruang tengah membawa selembar kertas. Aku lihat Tek Midar melirikku dan Mintuo Eti bergantian sembari tersenyum.
“Yo lah, mintuo samo menantu rukunnyo lai, seiya sekata....” aku langsung melotot ke arah Tek Midar. Aku tidak suka dengan kalimat yang dilontarkannya itu. Tidak untuk saat ini. Padahal biasanya, tidak hanya Tek Midar yang mencandaiku seperti itu. Tapi kali ini aku tidak suka.
“Masakan Jawa yang dimasaknya tadi Uni?” Ummiku menyikut lengan Tek Midar, beliau tahu ekspresi wajah penolakanku.
“Iya, pernah dulu makannya di tempat Pak Sukija, waktu pesta pernikahan anaknya. Tapi buatan Lia lebih enak,”
“Kan bisa tuh. Masak untuk pesta sendiri,” Tek Midar ini...
“Siapa pula mau bikin pesta kata Tek Midar ini,” aku melawan.
“Eh ada yang marah,” Tek Midar menutup mulutnya dengan tiga jari tangan, aku benci gaya leluconnya itu.
“Tek Midar asal kamangecek jo mah, asal omong aja mulutnya.”
“Eh, ini hasil didikan Ummi itu! Tidak sopan sama orang tua,”
“Lia....” Ummi menegurku.
“Maaf Ummi, tapi Etek Midar sudah keterlaluan merasuki Ummi. Mendesak-desak Ummi untuk menjodohkan Iya dengan Hafiz. Hafiz itu bukan jodoh yang tepat bagi Iya, Hafiz itu adik Iya, dia tidak cocok jadi kepala di keluarga Iya nanti. Coba pikir sama Etek, masa laki-laki tujuh tahun lebih muda dari Iya jadi pemimpin di keluarga Iya.” Aku membela diri.
Bagaimana mungkin aku dijodohkan dengan anak sulung Mintuo Eti yang jelas usianya lebih muda dariku. Memang dia sudah bekerja. Untuk ukuran anak bujang yang besar di kampung, Hafiz sudah bisa dibilang mapan. Meskipun, mungkin saja jika aku menikah dengannya, tapi aku juga punya pilihan. Aku tidak akan cocok bila dipasangkan dengannya. Kami tidak hanya berbeda usia, juga berbeda pandangan hidup. Ia lebih memilih bekerja dan berhenti sekolah, padahal Makdang dan Mintuoku mampu menyekolahkannya kemana ia ingin sekolah. Dalam hal pelajaran ia bukanlah anak yang pandai, oleh sebab itulah ia lebih suka menghabiskan waktunya ke ladang, memotong atau menyadap karet seperti Makdang. Seminggu ia bisa mengantongi uang sekitar dua jutaan rupiah. Gajinya sebulan melebihi seorang pegawai negeri. Makanya, ia lebih memilih berladang di kampung menggunungkan rezeki daripada sekolah menghabiskan uang.
“Eh, Nabi Muhammad jo jauh keteknyo dari Khadijah, apa yang tidak mungkin. Ooo, sudah terikat janji untuk sehidup semati pula sama anak lelek Jawa Sitiung itu. Itu sebabnya bersikeras menentang pilihan etek?”
“Dia bukan lelek, ibunya asli Minang, bapaknya juga anak gadis Minang, lahir dan besar juga di Minang. Ummi saja yang ibu kandung Iya, tidak pernah memaksa-maksa Iya. Atau nikah saja sama Etek!” Aku lepas kendali. Tek Midar sungguh di luar batas, sampai-sampai teman lelakiku, Agus yang anak Jawa Minang Sitiungsatu itu dibawa-bawanya. Hubunganku dengan Agus memang lumayan dekat. Bagaimana tidak dekat, kami telah berteman sejak kelas satu SMA, dan kami selalu sekelas sampai tamat sekolah. Hingga saat ini, pertemanan kami pun tidak terputus meski ia memilih kuliah ke kampung kakeknya di Semarang.
“Lia!” Ummi terpekik.
“Kurang ajar! Lihat Uni, hasil kuliah tinggi-tinggi. Tinggi pula suaranya dari awak lai,”
Brakk!
Aku tutup pintu kamar keras-keras. Aku tidak sabar lagi. Berdebat dengan Tek Midar sama saja berkelahi dengan orang paling idiot sedunia. Aduh, terserah aku ini dibilang anak durhaka. Aku tidak peduli. Di sekolah aku diajarkan tentang hak dan kewajiban. Aku rasa kewajibanku sebagai anak terhadap Abbi dan Ummi telah kujalani, sekarang hakku yang kuperjuangkan. Tek Midar hanya adik kandung Ummi, dia tidak berhak mengatur-atur hidupku. Apalagi menetapkan siapa jodohku. Biarlah itu menjadi urusan Tuhanku saja. Mengatur diri sendiri saja belum becus. Seharusnya dia yang perlu dicarikan jodoh. Sudah memasuki kepala tiga belum juga bersuami. Barangkali, karena perangainya yang seperti itu dia sulit menemukan pasangan yang tepat. Semestinya, aku yang mencarikan jodoh untuk Tek Midar. Mencomblangi orang tapi diri sendiri belum berjodoh juga. Astaghfirullahaal ‘azhiim, amarah mengapa begini.
Padahal, saat aku kecil dalam perawatan Tek Midar. Beliau adalah super heroku. Kemana pun aku pasti dibawanya, seperti anaknya sendiri. Tek Midar beda lima tahun dari Ummi. Berperawakan kecil, tapi sangat enerjik. Sejak belia rajin membantu nenek. Semua pekerjaan rumah selesai olehnya. Tek Midar sama seperti Makdang, mengecap pendidikan tertinggi hanya sebatas bangku menengah pertama. Ummi juga sama, aku yang beruntung bisa menikmati lebih dari yang pernah mereka miliki. Setiap hari rumah nenek dikelilingi kupu-kupu cantik, karena Tek Midar pintar menanam bunga. Kakek tidak perlu mencari bambu untuk memagar halaman, cukup aneka bunga warna-warni menghiasi. Aku paling suka menemani Etek ke kantor wali nagari. Tiap sabtu sore ada kegiatan PKK di sana. Setiap selesai mengikuti pelatihan, Tek Midar pasti akan mempraktekkan resep baru, dan aku selalu yang pertama mencicipi.
Tek Midar sungguh wanita lajang yang sempurna di balik ketiadaannya, menurutku. Tapi sayang, jodohnya belum juga menampakkan diri. Aku tidak tahu persis bagaimana kisah pribadinya. Yang aku tahu ia selalu riang dan semangat. Kata Ummi, Tek Midar patah hati. Dikecewakan kekasihnya yang berjanji akan menikahi, tetapi tidak pernah ada kabar setelah merantau ke negeri jiran. Sekalinya kembali ternyata menggandeng seorang istri. Etek kecewa, setelah sebelumnya menolak perjodohan dari nenek dengan anak Makdangnya, karena yakin sang kekasih akan pulang menepati janji. Tek Midar menyesal, ingin menerima tawaran nenek, semua sudah terlambat. Anak Makdangnya hanya satu itu yang lelaki, karena ditolak memilih menikah dengan gadis lain. Sungguh kasihan Etekku itu.
“Pulanglah kau dulu Midar.” Kudengar Mintuo Eti berkata pelan.
“Kan batuah anjuran awak tu ndak Uni,”
“Jaman sudah berubah, adat ya tetap adat tapi tidak selamanya adat itu bisa dipakai. Sesuaikan pula dengan keadaan yang ada saat ini. Dia sekarang hidup di jamannya pula, kita apalah....” aku sedikit lega mendengar ucapan Mintuo Eti yang begitu bijaksana dan pro padaku ini.
“Sudahlah Midar. Biarlah dia serius menamatkan kuliahnya dulu, urusan jodoh, rezeki itu sudah ada yang mengatur. Harta pusako kita itu ya keberhasilan anak cucu kita, bukan sawah ladang yang harganya tak seberapa....” Ummiku menambahkan tak kalah bijaknya.
Aku dengar seret langkah kaki tergesa-gesa menjauh ke pintu luar, beserta dumelan tak jelas. Jelas itu milik Tek Midar. *** Dharmasraya, Januari 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar